Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pangkas Kemewahan Koruptor

Kompas.com - 07/11/2011, 02:27 WIB

Saldi Isra

Mengapa penegakan hukum seperti gagal menimbulkan efek jera dalam desain besar agenda pemberantasan korupsi? Jawaban paling sederhana, penyebab utama yang dirasakan selama ini, aturan hukum dan proses penegakan hukum terlalu banyak memberikan kemewahan kepada mereka yang tersangkut kasus korupsi.

Barangkali, karena alasan itu pula, begitu dilantik menjadi Menteri dan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, duet Amir Syamsuddin dan Denny Indrayana mengumumkan langkah ”besar” dalam agenda pemberantasan korupsi. Sebagaimana dikemukakan, upaya yang akan dilakukan adalah menaikkan batas minimal ancaman pidana pelaku korupsi dari satu tahun menjadi lima tahun.

Tak berhenti sampai di situ, sebagai komandan baru di Kementerian Hukum dan HAM, Amir-Denny juga akan melakukan moratorium pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi. Ini dilakukan karena selama ini, obral remisi dan pembebasan bersyarat telah melumpuhkan upaya penjeraan dalam memberantas korupsi.

Jika jeli melacak dinamika agenda pemberantasan korupsi, langkah yang akan dilakukan Amir-Denny bukan gagasan baru. Dalam beberapa tahun belakangan, gagasan serupa telah didorong berbarengan dengan kian masifnya praktik penyalahgunaan kuasa ini. Namun, seperti teriakan di tengah gurun pasir: gayung tak bersambut, kata pun tak berjawab.

Dengan adanya rencana Amir-Denny melakukan lompatan besar, publik seperti mendapatkan tiupan angin segar di tengah potret buram pemberantasan korupsi. Karena itu, tak berlebihan apabila keinginan itu dipandang sebagai harapan baru untuk mengurangi praktik perampokan uang negara. Bagaimanapun, banyak kalangan percaya, sekiranya tidak ada keberanian untuk melakukan langkah besar, banyak kemewahan yang dinikmati mereka yang tersangkut korupsi kian sulit dipangkas.

Hulu ke hilir

Kemewahan yang dinikmati oleh mereka yang tersangkut kasus korupsi tak hanya terjadi pada bagian hilir, yaitu dengan begitu mudahnya mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Bahkan, misalnya, melihat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada Artalyta Suryani, publik seperti sedang disuguhi ”sandiwara hebat” dalam penegakan hukum. Dalam banyak kasus, koruptor telah menikmati kemewahan sejak awal proses penegakan hukum.

Di tingkat hulu, masalah yang terjadi bukan hanya kian masifnya vonis atau hukuman di bawah lima tahun, melainkan juga berupa kemewahan sejak dari proses penyidikan sampai ke vonis hakim. Dalam proses penyidikan, penyidik masih terbatas menahan para pelaku tindak pidana korupsi. Padahal, alasan penahanan (baik subyektif maupun obyektif) telah terpenuhi untuk menahan seseorang. Bahkan, banyak fakta menunjukkan, ruang untuk menahan atau tidak menahan acap kali digunakan untuk memeras tersangka.

Jika hendak melakukan perbaikan, ruang untuk terjadinya penyalahgunaan kuasa oleh para penyidik harus segera ditutup. Cara yang paling sederhana, seperti di KPK, mereka yang tersangkut korupsi yang ditetapkan sebagai tersangka segera ditahan. Selain cara mempercepat proses penyelesaian perkara, langkah demikian sekaligus dimaksudkan untuk mendorong penyidik menjadi lebih berhati-hati. Bukankah sejumlah fakta menunjukkan, ketidakhati-hatian dalam menyusun dakwaan menyebabkan banyak tersangka kasus korupsi dibebaskan hakim.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com