JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi diminta menelusuri aliran dana ke sejumlah politikus Partai Demokrat yang berasal dari hasil korupsi mantan bendahara umum partai tersebut, Muhammad Nazaruddin.
Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki perangkat untuk menelusuri dana haram tersebut dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Menurut Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah, KPK harus serius mengusut aliran dana dari Nazaruddin karena persidangannya akan segara dimulai pekan depan. Menurut Febri, saatnya KPK mendakwa Nazaruddin tak hanya dengan pasal-pasal korupsi, tetapi juga pasal pencucian uang.
"Target yang harus dipikirkan KPK berdasarkan alat bukti adalah aliran dana pada semua politikus yang disebutkan di fakta persidangan. Itu yang harus diseriusi. Ada fakta persidangan yang menyatakan adanya aliran dana ke Partai Demokrat. Itu juga harus ditelusuri oleh KPK meskipun dibantah juga oleh Partai Demokrat. Namun, dukungan yang penuh dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) menjadi sangat penting, terutama laporan hasil analisis dan laporan transaksi keuangan mencurigakan yang ditemukan PPATK," kata Febri.
Febri mengatakan, dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) maka KPK tak hanya bakal bisa melacak semua aliran dana hasil korupsi dari Nazaruddin, tetapi juga merampas harta tak halal tersebut.
Menurut Febri, dengan UU TPPU, jika ada terdakwa yang dikenakan pasal-pasal pencucian uang sehingga ketika di persidangan tak bisa dibuktikan perolehan harta tak wajar dari terdakwa maka negara bisa merampasnya.
Febri mengatakan, dalam kasus Nazaruddin, jaksa dan polisi yang juga ikut menangani kasus ini seharusnya ikut menggunakan UU TPPU.
"Demikian juga untuk kasus-kasus Nazaruddin yang ditangani oleh polisi dan jaksa. Jadi prinsipnya saya kira, KPK, polisi, dan jaksa harus kepung penuntasan kasus ini. Karena dari keterangan pimpinan KPK sendiri, kasus Nazaruddin ini tidak hanya terkait kasus wisma atlet, tapi juga ada kasus Hambalang, ada kasus di Kementerian Pendidikan Nasional, di Kementerian Kesehatan, dan sejumlah kasus yang lainnya," kata Febri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.