Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasib Komodo Tak Seindah Logonya

Kompas.com - 01/11/2011, 01:41 WIB

Idha Saraswati dan Agnes Swetta Pandia

Seiring popularitasnya yang terus menanjak, komodo dipilih menjadi ikon Kebun Binatang Surabaya. Namun, menjadi logo baru KBS tidak menjamin ”kesejahteraan” komodo di kebun binatang berusia 95 tahun itu.

Hari Minggu (23/10), misalnya, seekor komodo mati di dalam kandangnya. Tim dokter menduga penyebab kematiannya infeksi di saluran telur, tetapi pada tubuhnya juga ditemukan luka memar. Selain itu, komodo di Kebun Binatang Surabaya (KBS) juga rawan diculik. Maret lalu, misalnya, tiga anak komodo raib dari kandangnya. Ironis. Tak jauh dari kandang komodo dipasang spanduk iklan pemilihan komodo sebagai keajaiban dunia berbunyi: ”Komodo Kita, Keajaiban Dunia!”

Kematian komodo ini menambah daftar panjang kematian satwa di KBS. Beberapa hari kemudian, seekor babi rusa juga mati. Mereka menyusul buaya muara, bekantan, ular piton, gajah, dan jalak bali yang sudah lebih dulu mati.

Berdasarkan data KBS, Januari-September 2011, sudah 245 satwa mati. Memang, dengan populasi yang mencapai 4.020 ekor, kematian satwa pasti terjadi. Namun, di KBS, ada banyak satwa yang mati karena sakit.

Warsito, salah seorang karyawan yang sudah bekerja di KBS sejak 1994, mengingat, kematian satwa dalam jumlah besar sudah terjadi beberapa kali. ”Kematian satwa itu mulai tinggi lagi sejak 2006. Waktu itu muncul konflik kepengurusan. Kondisi ini berlanjut sampai sekarang,” tuturnya, Senin (31/10).

Menurut dia, konflik dalam pengelolaan KBS membuat karyawan seperti dirinya tidak nyaman bekerja. ”Ya, semua karyawan tetap bekerja sesuai tugasnya, tapi rasanya tetep tidak plong,” tambahnya.

Liang Kaspe, Kepala Rumah Sakit Hewan KBS, mengakui secara umum kondisi satwa di KBS tidak ”sejahtera”. Ini antara lain dipicu kondisi kandang yang tidak layak huni karena berusia tua. Perbaikan kandang akhir-akhir ini semakin jarang.

Sejak dibangun tahun 1916 sampai sekarang, tidak ada renovasi kandang berskala besar. Harimau di kebun binatang ini nyaris tidak pernah melihat matahari karena kandangnya sempit dan tertutup. Ikan-ikan berukuran besar juga terpenjara di dalam akuarium sempit yang gelap. Aneka jenis rusa pun tidak bisa berlari puas karena terbentur pagar pembatas.

Direktur Lembaga Pemerhati Konservasi Satwa Profauna Rosek Nursahid menilai banyak kandang KBS sempit dan tidak dilengkapi fasilitas yang memungkinkan satwa mengekspresikan perilaku alaminya.

Jarak pembatas antara pengunjung dan satwa di kandang sangat minim. ”Jadi, pengunjung bebas berinteraksi dengan satwa. Mereka bisa melemparkan makanan dan apa saja ke dalam kandang,” ujarnya.

Lagi-lagi, satwalah yang menjadi korban. Dari dalam tubuh sejumlah satwa yang mati, petugas kerap menemukan gumpalan plastik hingga kain.

Rosek menilai, kandang yang tidak layak itu berdampak pada menurunnya kesejahteraan dan kesehatan satwa. Kondisi itu semakin diperunyam dengan konflik tarik-ulur pengelolaan KBS.

Konflik pengelolaan KBS dimulai tahun 2000-an. Dimulai dari konflik internal, persoalan terus meluas sehingga kegiatan konservasi satwa semakin minim. Eksesnya, banyak satwa sakit dan akhirnya mati.

Konflik antara lain muncul karena potensi ekonominya. Menjamurnya tempat hiburan modern di Surabaya ternyata tetap tak mengurangi minat masyarakat mengunjungi KBS. Setiap akhir pekan dan liburan, KBS disesaki 5.000-an pengunjung.

Oleh karena itu, banyak pemilik modal yang ingin menguasai lahan seluas 15 hektar. Apalagi letaknya sangat strategis di Kota Surabaya. Tahun 1999, misalnya, hutan kota itu nyaris pindah tangan ke pemilik modal yang akan menyulapnya jadi pusat perbelanjaan plus hotel.

Gonjang-ganjing konflik pengelolaan KBS memaksa Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menerbitkan keputusan tentang Tim Pengelola Sementara Kebun Binatang Surabaya (TPS KBS) awal 2010. Tim yang diketuai Tony Sumampau ini bertugas mengelola KBS sekaligus menjaring investor berpotensi. Tugas tim ini diperpanjang hingga Februari 2012.

Menurut Tony, selama TPS bekerja, sudah banyak perubahan di KBS. Lingkungan KBS sudah lebih bersih, angka kematian satwa pun jauh menurun. Namun, upaya memperbaiki KBS membutuhkan renovasi total. ”Butuh dana sekitar Rp 90 miliar untuk renovasi total. Jadi perlu ada investor,” kata Tony.

Namun, perpanjangan masa kerja TPS justru memicu konflik baru. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini berang karena lahan KBS merupakan aset Pemkot Surabaya. Karena itu, pengelolaan KBS sebaiknya ditangani Pemkot Surabaya. Risma sudah dua kali mengajukan proposal kepada Menhut agar bisa mengelola KBS. ”TPS tidak perlu mencari investor karena Pemkot dibantu seluruh pegawai KBS yang sangat kompeten dalam bidangnya mengurus hewan akan mengelola secara profesional. Jangan sampai KBS jadi hotel,” kata Risma.

Rosek menuturkan, jika pengelolanya hanya mengincar potensi pemasukan dari KBS, mereka tidak layak mengelola kebun binatang itu. ”Apalagi sampai ada rencana membangun hotel hingga restoran dengan menu hewan di KBS. Itu benar-benar tidak sesuai dengan upaya konservasi,” tegas Rosek.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com