JAKARTA, KOMPAS.com — Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mencatat, perampokan uang rakyat oleh elite politik dan birokrasi masih terjadi di tahun ketujuh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selama tujuh tahun terakhir, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan penyimpangan anggaran sebesar Rp 103,19 triliun.
"Dari temuan yang direkomendasikan BPK ini, baru Rp 37,8 triliun yang ditindaklanjuti," ujar Sekretaris Jenderal Fitra Yuna Farhan di Jakarta, Minggu (23/10/2011).
Perampokan uang negara tersebut, katanya, dipicu kondisi karut-marutnya politik anggaran. Biaya politik yang tinggi dan proses penganggaran yang tidak transparan semakin memperlebar celah perampokan anggaran oleh para elite.
"Elite politik di Senayan (DPR) ataupun kementerian dituntut untuk menghidupi partai politiknya, mengembalikan modal dana kampanye, mencari modal untuk kampanye, dan memperkaya diri, merampok uang rakyat dari APBN," kata Yuna.
Bobolnya anggaran, dinilai Yuna, dapat terjadi mulai dari tahap pembuatan program, pengalokasian anggaran, hingga realisasi program.
"Dari setiap tahapan, memang politik anggaran membuat terbuka praktik perampokan negara, mulai dari penyusunan program, ada diskresi, dan pembahasan di ruang-ruang gelap, ruang-ruang tertutup, penentuan atau alokasi ke kementerian, lembaga, dan transfer daerah," paparnya.
Sementara itu, anggaran yang rentan diselewengkan para elite, antara lain, belanja modal, belanja sosial, perjalanan dinas, dan dana transfer daerah, seperti dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah (PPID). Menyikapi kondisi tersebut, Fitra menuntut pemerintah untuk memperbaiki regulasi pendanaan parpol dan kampanye parpol dengan.
"Batasi biaya belanja kampanye. Selama tidak dibatasi, semua akan jor-joran," ujar Yuna.
Di samping membenahi pendanaan parpol, pemerintah seharusnya memperbaiki mekanisme perencanaan penganggaran, baik di lingkungan birokrasi maupun di parlemen.
"Misalnya lewat aplikasi, harus terintergasi, mulai dari rencana sampai pertanggung jawaban. Kalau kita sekarang masih ego sektoral," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.