Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Agama Itu "Ageman"

Kompas.com - 22/10/2011, 02:10 WIB

Komaruddin Hidayat

Di lingkungan masyarakat Jawa, agama ibarat ageman atau pakaian. Pakaian juga sering disebut sebagai sandang yang selalu dikaitkan dengan pangkat, jabatan, dan harga diri.

Kata sandang disebut lebih dulu baru kemudian pangan memiliki makna dan pesan yang cukup dalam. Jika seseorang terjepit sehingga harus memilih sandang atau pangan, di situ akan kelihatan kualitas dan jalan pikiran seseorang. Seseorang yang memilih pangan berarti derajatnya sama dengan hewan. Yang penting makan meski telanjang. Orang yang memiliki harga diri akan memilih sandang. Sandang menunjukkan martabat dan harga diri.

Jabatan pun sering dipandang sebagai pakaian sehingga ada istilah ”menyandang jabatan”. Jika orang berpakaian, terbuka banyak jalan mencari pangan.

Begitu pula halnya dengan agama. Ibarat pakaian atau ageman, orang beragama agar martabat dan harga diri naik serta terjaga. Setidaknya terdapat tiga fungsi utama pakaian: menjaga kesehatan, menutupi aib atau aurat, dan memperindah penampilan. Jadi, jika ada orang mengaku beragama, terlebih yang bersuara lantang mengaku sebagai front pembela agama, perilakunya mesti terpuji dan indah dipandang serta didengar.

Sebab, jabatan juga ibarat pakaian. Maka, siapa pun yang menduduki jabatan mesti menjaga kehormatan diri serta merasa nyaman melaksanakan tugasnya. Jangan sampai kehormatan dan martabat sebuah jabatan dikorbankan hanya demi mengejar pangan atau kekayaan materi secara tak wajar. Itu sama dengan berpakaian tetapi auratnya terbuka: bikin malu yang mengenakan ataupun yang melihat.

Nyaman dan diapresiasi

Selera orang berpakaian dipengaruhi banyak hal. Besar-kecilnya disesuaikan dengan ukuran tubuh. Kedodoran atau kekecilan bikin pemakai tak nyaman. Warna dan model dipengaruhi oleh tradisi yang lazim di lingkungannya. Ada yang seragam, ada pula yang warna-warni. Apa pun model, ukuran, dan warnanya, yang selalu jadi pertimbangan utama adalah yang mengenakan merasa nyaman serta diapresiasi oleh lingkungan.

Begitulah orang beragama. Setiap orang punya pengalaman dan kenyamanan yang dipengaruhi pendidikan dan lingkungannya sehingga seseorang merasa tak nyaman jika tak beragama, tetapi merasa tak enak jika dipaksa mesti seragam.

Tentu saja agama berbeda dengan pakaian dan jabatan yang melekat pada seseorang. Namun, yang namanya pakaian mesti dibersihkan jika kotor. Ukuran tak pas akan mengurangi sikap percaya diri. Jabatan pun demikian, mesti ada kesesuaian antara kapasitas seseorang dan beban tugas yang ia emban.

Adapun kata ageman: maknanya memang lebih dalam dari sekadar pakaian. Ia sebuah keyakinan dan tradisi yang bikin seseorang berharga serta pantas dihargai, merasa percaya diri serta nyaman saat bergaul dengan sesama. Tanpa ageman, seseorang akan merasa telanjang, malu pada dirinya dan orang lain.

Dalam kajian psikologi dibuktikan, sehebat dan sepintar apa pun seseorang, ketika ditelanjangi di depan umum, harga diri dan kepercayaan dirinya akan runtuh. Begitu dalam dan vitalnya ageman sehingga masyarakat Jawa sering menganalogikan ageman dengan agama, bahwa orang yang tak beragama sama saja sedang telanjang.

Orang mengaku beragama tetapi tak bisa jaga kehormatan diri sama saja tak beragama. Prinsip ini sangat sejalan dengan sabda Rasulullah Muhammad: bahwa saya diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak.

Karena ageman merupakan simbol martabat dan harga diri, sekalipun masyarakat kita sedemikian tinggi antusiasnya dalam kegiatan keagamaan, jika tak berdampak bagi penegakan etika, itu berarti hanya pura-pura menjalankan agamanya.

Etika, budi pekerti, atau akhlak selalu relasional. Artinya, nilai kebaikan atau kejahatan terjadi dalam konteks sosial. Jika rajin menegakkan shalat, puasa, dan haji, tetapi masih menipu dan menyakiti orang lain, kualitas keberagamaannya diragukan.

Mesti siap

Jika seseorang menduduki jabatan tinggi dan terhormat tetapi perilakunya tak terhormat, ia sedang buka pakaian dan aib sendiri di depan umum. Seperti orang kurang waras saja.

Dulu di lingkungan keraton, orang sangat bangga jika mengenakan pakaian seragam kebesaran sebagai abdi dalem atau pegawai keraton meski gajinya sangat kecil. Bagi mereka, sandang, martabat, dan harga diri jauh lebih penting dari besar gaji untuk ditukar dengan pangan. Tentu keadaan sudah berubah. Orang mesti bekerja keras dan cerdas untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin. Di situ terdapat pesan moral yang tetap bahwa martabat dan harga diri jangan dikorbankan demi uang.

Pesan lebih jauh lagi, kita semua mesti siap menerima keragaman agama. Ibarat pakaian, yang namanya agama, bahasa, dan tradisi tak mungkin dibuat seragam. Setiap orang terlahir dan tumbuh sudah dalam keragaman agama dan budaya yang membuat mereka terbiasa serta nyaman hidup di dalamnya.

Keragaman ini jadi suatu realitas primordial, yang melekat pada seseorang bukan atas dasar pilihan sendiri. Maka, yang perlu dikembangkan adalah menjaga sikap agar pantas dihargai dan sikap saling menghargai. Jangan terpaku mengagung-agungkan pakaian dan jabatan dengan mengorbankan isi serta prestasi yang diemban.

Ketika penduduk bumi kian bertambah, sarana transportasi dan komunikasi kian maju, keragaman agama, bahasa, dan budaya kian terlihat di depan mata. Semua itu memperindah kehidupan asalkan substansinya yang mulia tak dikalahkan dan dimanipulasi oleh kemasan luarnya.

Komaruddin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com