Jakarta, Kompas -
Sementara itu, kearifan lokal belum sepenuhnya digali. Padahal, setiap komunitas masyarakat mempunyai cara memitigasi bencana yang khas, secara turun- temurun.
Demikian, antara lain, rangkuman wawancara dengan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho dan Direktur Eksekutif Humanitarian Forum Indonesia (HFI) Hening Parlan, akhir pekan lalu.
”Kunci utama penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah pemerintah daerah. Tetapi, kita tahu pemda kurang kuat. Masalah bencana belum jadi prioritas, baik dari anggaran maupun sumber daya manusia. Kepala BPBD, meski di Undang- Undang disebut dari eselon 1b setara sekretaris daerah, oleh Depdagri diubah eselon 2a,” kata Sutopo.
Menurut dia, strategi BNPB ada empat, yaitu menjauhkan masyarakat dari bencana, menjauhkan bencana dari masyarakat, hidup harmoni dengan risiko bencana, dan kearifan lokal yang harus digali.
Hening menambahkan, doktrin bahwa negara ini gemah ripah loh jinawi bisa menjauhkan risiko bencana dari alam pikir penduduknya. ”Informasi bahwa kita hidup di daerah cincin api dengan gunung api aktif serta risiko gempa, tak pernah disampaikan kepada masyarakat. Di sisi lain, kearifan lokal tak dilihat sebagai satu kultur pengurangan risiko bencana, tetapi justru sering dianggap sebagai mitos,” katanya.
Mengenai kultur masyarakat yang seakan-akan bertentangan dengan prinsip-prinsip pengurangan risiko bencana, Hening menilai, kemungkinan itu keliru. Kearifan lokal yang tampak merugikan masyarakat kemungkinan karena pemahaman yang kurang karena diturunkan sekian generasi.
”Sudah jauh, atau memang ada informasi kurang lengkap. Saya yakin kearifan lokal tak merugikan warga,” kata dia. Selain itu, edukasi langkah mitigasi bencana kepada masyarakat harus terus dilakukan pemerintah sehingga semua itu menjadi kebiasaan masyarakat.