JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil survei yang dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lazuardi Birru menyebutkan, Indonesia masih rawan terhadap aksi radikalisme dan terorisme. Survei yang dilakukan pada Juni hingga Juli 2011 tersebut menunjukan indeks kerentanan radikalisme di Indonesia sebesar 43,6, turun 1,44 persen dari tahun sebelumnya, 45,4 persen.
Hasil ini didapatkan setelah dilakukan survei dengan cara multistage random sampling terhadap 4840 koresponden di 33 provinsi di Indonesia. Adapun, komposisi perbandingan agama para responden yakni, Islam sebesar 86,3 persen, Kristen 11,1 persen, dan agama lainnya 2,6 persen.
Ketua Lazuardi Birru Dyah Madya Ruth mengatakan, meski pun indeks kerentanan radikal itu turun dari tahun sebelumnya, namun statusnya masih rentan terhadap aksi radikalisme.
"Karena hasil sebesar 43,6 itu masih jauh dari tingkat aman, yaitu pada level 33,3," ujar Dyah saat melakukan jumpa pers di Gedung Jakarta Media Center, Jakarta, Rabu (5/9/2011).
Dyah mengungkapkan, dari 33 provinsi tersebut, terdapat tiga daerah yang paling rentan tindakan radikalisme, yakni Nangroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, dan Banten.
Aceh menempati posisi tertinggi dengan 56,8, kemudian disusul Jawa Barat dan Banten dengan indeks yang sama sebesar 46,6 persen.
"Indeks ini menunjukan tingkat partisipasi, dukungan, dan penerimaan masyarakat terhadap radikalisme sosial keagamaan di beberapa daerah tersebut," kata Dyah.
Komponen indeks kerentanan radikal tersebut terdiri dari tindakan radikal, keanggotaan organisasi radikal, aliensi-deprivasi, intoleransi terhadap non-muslim, persamaan tidan aman, dan perasaan terancam dari masyarakat. Menurut Dyah, dibanding tahun lalu, indeks tahun ini menunjukkan penurunan tujuh komponen indeks.
"Dari tujuh indeks tersebut, kami mencatat ada tiga indeks yang turun secara signifikan, yaitu indeks tindakan radikal, indeks dukungan terhadap organisasi radikal, dan indeks jihadisme," jelasnya.
Dyah juga menjelaskan, beberapa indikator indeks tindakan radikal diantaranya keterlibatan masyarakat dalam berbagai aksi radikal, bersedia melakukan aksi radikal, merencanakan, melakukan penyerangan terhadap penurunan rumah ibadah agama lain. Menurutnya, dalam kategori ini, terjadi penurunan indeks sebesar 4,70 persen.
"Indeks tindakan radikal tahun ini 20 persen, turun 4,70 persen dibanding tahun lalu, yakni 24,7 persen. Dan penurunan ini menyatakan berkurangnya muslim yang terlibat dalam berbagai aksi radikal," kata Dyah.
Sementara itu, untuk indeks dukungan organisasi radikal, menunjukan dukungan terhadap organisasi radikal pada 2011 sebesar 45,9 persen. Hasil tersebut menurun 3,50 persen jika dibandingkan tahun lalu sebesar 49,4 persen.
"Hasil ini artinya instrumen gerakan radikal semakin tidak didukung. Dengan begitu aktivis-aktivis organisasi radikal dan teroris tidak bisa lagi leluasa menjalankan misinya," jelas Dyah.
Dalam indeks jihadisme, tambah Dyah, Lazuardi Birru menggunakan tolak ukur berdasarkan pandangan muslim mengenai makna jihad sebagai tindakan mengangkat senjata, pengunaan kekerasan dan pengorbanan nyawa. Ia mengungkapkan, pada 2011 indeks jihadisme menunjukan nilai sebesar 47,1 persen atau turun 2,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya, sebesar 49,9 persen.
"Hal ini penting karena menjelaskan bahwa muslim semakin tidak menyetujui pemaknaan jihad semata-mata hanya dengan kekerasan. Jadi, semakin seorang muslim semakin dapat menempatkan makna jihad dan tidak mempercayai jihad sebagai kekerasan, maka bisa diproyeksikan gerakan radikalisme akan kehilangan legitimasi lagi," tegas Dyah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.