Perpindahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Mayjen Soeharto oleh banyak pihak disebut sebagai kudeta merangkak atau bertahap. Kudeta itu merupakan serangkaian kegiatan untuk mengambil alih kursi kepresidenan secara bertahap sejak
”Saskia Wieringa menamakan peristiwa tahun 1965 sebagai kup pertama dan tahun 1966 sebagai kup kedua. Peter Dale-Scott melihatnya sebagai kudeta tiga tahap. Pertama, Gerakan 30 September yang merupakan ’kudeta gadungan’. Kedua adalah tindakan balasan, yaitu pembunuhan terhadap anggota PKI secara massal. Ketiga pengikiran sisa-sisa kekuatan Soekarno,” kata sejarawan sekaligus Ahli Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, saat peluncuran buku karya Sukmawati Soekarnoputri berjudul
Mengenai bukunya, Sukmawati berharap buku tersebut dapat menambah wawasan dalam dunia politik sehingga generasi mendatang makin paham apa yang terjadi pada masa lalu.
Menurut Asvi, keterlibatan Soeharto dalam kudeta yang terkesan ”disengaja untuk gagal” diperlihatkan Soebandrio dengan mengkaji peran para mantan anak buah Soeharto di Kodam Diponegoro. Ada trio untuk dikorbankan (Soeharto-Untung- Latief) dan ada trio yang dipakai untuk masa selanjutnya (Soeharto-Yoga Sugama-Ali Murtopo).
Pandangan ini merupakan analisis
”Yang merupakan paradoksal di sini, lazimnya kudeta merupakan perebutan kekuasaan secara tepat dan tak terduga. Namun di sini ternyata dilakukan secara berangsur-angsur atau bertahap, seperti pepatah Jawa,
Asvi mengatakan, ternyata kudeta merangkak itu bukan saja dilakukan oleh Soeharto dan kelompoknya, tetapi juga dilaksanakan berbarengan dengan apa yang ia sebut sebagai ”kudeta merangkak” Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). MPRS berperan sangat besar secara yuridis untuk mengalihkan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto.(lok)