Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengintip Wajah Mahkamah Agung ke Depan

Kompas.com - 26/09/2011, 02:07 WIB

Minggu ini, Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap 18 calon hakim agung yang dimulai sejak Selasa (20/9). Komisi III DPR akan memilih enam orang di antaranya.

Apakah enam hakim agung baru ini akan memengaruhi wajah dunia peradilan ke depan? Barangkali sebagian orang pesimistis, apa yang bisa dilakukan enam hakim agung baru untuk memperbarui hukum dan keadilan, apalagi jika mereka tidak memegang jabatan strategis yang bisa menentukan arah kebijakan peradilan tertinggi.

Baiklah, harapan yang terlalu tinggi barangkali kurang pas untuk ditaruh di pundak mereka. Kalau Ketua Mahkamah Agung (MA) pun sulit untuk membalik keadaan pengadilan yang kini makin tidak dipercaya masyarakat, apalagi seorang hakim agung yang masih baru.

Akan tetapi, enam hakim agung ini bukan tidak memiliki arti. Ia memegang palu Dike (Dewi Keadilan dalam mitologi Yunani, anak Themis dan Zeus) untuk melawan personifikasi Adikia (ketidakadilan). Dalam ketokan palunya, nasib orang ditentukan. Putusan hakim sebenarnya bukan melulu urusan satu atau lebih orang. Putusan hakim dapat menyumbang dalam pembangunan hukum secara nasional, khususnya ketika dia mampu memberikan keputusan yang progresif dan mampu menyerap rasa keadilan yang hidup di masyarakat (living law).

Dengan demikian, bisa dibayangkan betapa pentingnya posisi seorang hakim agung. Putusannya bisa menjadi contoh bagi hakim di bawahnya (hakim tingkat pertama dan banding).

Hanya, akankah tuntutan itu bisa dipenuhi saat mereka dipaksa bekerja dengan cepat. Jumlah perkara yang menanti demikian besar. Saat ini, MA memiliki 16.112 tunggakan perkara. Dalam kondisi seperti ini, setiap hakim agung diharap bisa menyumbang proyek besar MA mengikis tunggakan perkara.

Saat ini, setiap hakim agung mampu memutus 5-6 perkara per hari. Saat rapat kerja nasional MA, minggu lalu di Jakarta, Ketua MA Harifin A Tumpa menyatakan apresiasinya kepada kinerja hakim agung, yang menyelesaikan 14.000 perkara dalam kurun waktu Januari-Agustus 2011. Saat ini, jumlah hakim agung di MA sebanyak 48 orang.

Dalam kaitannya dengan kebutuhan MA melaksanakan operasi ”sapu jagad” terhadap tunggakan perkara itu, Ketua Pelaksana Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Hasril Hertanto menyarankan Komisi III mempertimbangkan asal-usul (latar belakang) calon hakim agung, selain faktor integritas dan penguasaan hukum. Calon hakim agung dari jalur karier diyakini bakal mampu bekerja lebih cepat. Calon hakim agung dari jalur nonkarier membutuhkan waktu untuk beradaptasi.

Selain itu, komposisi hakim agung di MA yang kini hampir imbang antara jalur karier dan nonkarier juga layak menjadi pertimbangan. Dari hakim MA sebanyak 48 orang, 28 orang di antaranya berasal dari jalur karier. Dalam kondisi seperti ini, anggota Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), menduga wajah MA dalam 10 tahun ke depan akan didominasi oleh hakim agung dari jalur nonkarier. Apalagi tahun depan, sebanyak sembilan hakim agung akan pensiun.

Trimedya mengatakan, hakim karier (hakim tinggi) sulit mengejar calon dari jalur nonkarier untuk menjadi hakim agung dari segi usia. Hakim nonkarier rata-rata lebih lama berada di MA (sebagai hakim agung) karena masuk di usia lebih muda dibandingkan dengan hakim karier. Ia mencontohkan hakim agung Suryajaya yang masuk ke MA pada usia 48 tahun atau Salman Luthan yang jadi hakim agung pada usia 51 tahun. Dengan usia pensiun hakim agung masih 70 tahun seperti diatur Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA, Suryajaya akan berada di MA selama 22 tahun. Salman selama 19 tahun. Keduanya dari nonkarier.

Bandingkan dengan hakim agung dari jalur karier yang masuk ke MA pada usia lebih tua. Misalnya, Hatta Ali—tergolong punya karier cemerlang—yang masuk ke MA pada 2006 pada usia 56 tahun, Zaharuddin Utama yang menjadi hakim agung pada usia 61 tahun, atau Mukhtar Zamzani yang masuk ke MA pada usia 58 tahun.

Apakah keberadaan hakim agung dari jalur nonkarier memberikan pengaruh berarti di MA? Hasril berpendapat, keberadaan mereka tak terlalu memberi pengaruh yang positif. Niat awal untuk memasukkan hakim agung nonkarier untuk memperbaiki kondisi lembaga peradilan paling tinggi itu tidak juga membawa hasil yang menggembirakan. Hingga kini, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan masih rendah saja.

Justru keberadaan hakim agung nonkarier yang mayoritas justru bisa berdampak pada hubungan dengan hakim di bawahnya. Peneliti senior Lembaga Independensi Peradilan, Arsil, mengkhawatirkan pembinaan hakim di bawah kurang bisa sepenuhnya dilakukan.(susana rita k)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com