Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menakar "Nyanyian" Nazaruddin

Kompas.com - 19/08/2011, 02:57 WIB

EDDY OS HIARIEJ

Kepulangan Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat, sangat dinantikan masyarakat Indonesia. Hal ini terkait ”lagu” yang ”dinyanyikan ” Nazaruddin selama pelarian.

Tak tanggung-tanggung, dalam ”ny a ny i a n ny a ”, Nazaruddin menunjuk hidung para petinggi Partai Demokrat dan sejumlah pejabat KPK.

Ada tiga kasus yang sudah pasti menjerat Nazaruddin. Pertama, kasus dugaan suap dalam proyek wisma atlet SEA Games di Palembang. Kedua, kasus pelarian semasa menjadi buron. Ketiga, kasus dugaan tindak pidana keimigrasian bertalian dengan penggunaan paspor orang lain untuk bepergian ke luar negeri. Dari ketiga kasus tersebut, yang sangat ditunggu-tunggu publik adalah kasus dugaan suap dalam proyek wisma atlet SEA Games.

Kasus tersebut ibarat bola liar yang ditendang Nazaruddin sehingga mengenai para pemain lain. Atas dasar kasus itu pula, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum melaporkan Nazaruddin ke Mabes Polri dengan sangkaan pencemaran nama baik.

Merujuk pada Pasal 311 Ayat (1) KUHP, orang yang melakukan pencemaran nama baik diberi kesempatan membuktikan kebenaran tuduhannya terlebih dahulu. Artinya, Nazaruddin harus diberi kesempatan membuktikan tuduhan yang dia lontarkan terhadap petinggi Partai Demokrat.

Dalam konteks teori pembuktian, ”ny a ny i a n ” Nazaruddin adalah pengakuan (confession) sepihak yang tak punya nilai apa pun di depan hukum, kecuali dilakukan proses verbal di hadapan penyidik atas pengakuan tersebut sehingga pengakuan demikian kemudian menjadi confessions evidence (bukti pengakuan). Agar confessions evidence memperoleh kekuatan pembuktian yang sempurna, harus ada corroborating evidence, yang secara teori diartikan sebagai bukti- bukti untuk memperkuat suatu kesaksian, termasuk pengakuan atau sebaliknya kesaksian untuk memperkuat bukti-bukti yang ada.

”Saksi mahkota”?

Dalam konteks ”ny a ny i a n ” Nazaruddin, sesegera mungkin harus dilakukan proses verbal atas pengakuan tersebut. Ada dua cara yang dapat ditempuh. Pertama, pengakuan tersebut berada dalam satu berkas dengan dugaan suap proyek wisma atlet yang telah menjadikan Nazaruddin sebagai tersangka. Kedua, Nazaruddin menuangkan pengakuannya dalam suatu laporan tersendiri kepada penyidik perihal aliran dana proyek wisma atlet. Pilihan mana yang tepat sangat bergantung pada kepiawaian kuasa hukumnya.

Tentu saja semua pengakuan harus disertai bukti-bukti lain, yang selama ini digembar-gemborkan Nazaruddin dan kuasa hukumnya. Sebaliknya, jika tudingan Nazaruddin hanyalah pepesan kosong tanpa bukti-bukti yang valid, terdapat indikasi yang sangat kuat Nazaruddin telah melakukan pencemaran nama baik. Dengan demikian, kelak hukumannya harus diperberat. Selain pencemaran nama baik, ada juga indikasi kasus korupsi dan sejumlah tindak pidana lain yang melibatkan Nazaruddin.

Pertanyaan lebih lanjut, bagaimanakah proses terhadap Nazaruddin sekembalinya di Indonesia. Secara hukum, Nazaruddin ditangkap berdasarkan red notice yang dikeluarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Artinya, Nazaruddin adalah buronan KPK, dengan sendirinya harus diproses oleh KPK. Akan tetapi, mengingat banyaknya kasus yang dapat menjerat Nazaruddin, tidak ada salahnya untuk menangani kasus tersebut dibentuk tim independen yang melibatkan KPK sebagai koordinator, kepolisian, kejaksaan, imigrasi, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Pelibatan intitusi-institusi tersebut mengingat kasus yang menjerat Nazaruddin tak hanya kasus korupsi, tetapi juga tindak pidana umum lain yang bukan menjadi kewenangan KPK. Hal ini dimaksudkan agar penanganan kasus Nazaruddin lebih efisien dan efektif karena indikasi semua kejahatan yang dilakukan oleh dirinya merupakan satu rangkaian perbuatan.

Pelibatan LPSK dibutuhkan untuk memberikan perlindungan yang utuh terhadap Nazaruddin, baik perlindungan atas keselamatan jiwanya maupun perlindungan atas barang-barang miliknya. Ini terutama barang- barang yang dapat dijadikan bukti atas tuduhan Nazaruddin terhadap sejumlah petinggi Partai Demokrat.

Perlindungan LPSK menjadi penting jika tudingan Nazaruddin mendekati fakta yang sebenarnya. Dalam konteks demikian, Nazaruddin tak hanya sebagai pelaku, tetapi juga sebagai saksi mahkota (krongetuige ). Di satu sisi Nazaruddin adalah pelaku kejahatan, tetapi di sisi lain dia adalah saksi atas kejahatan sama yang dilakukan bersama- sama dengan orang lain.

EDDY OS HIARIEJ Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com