Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melampaui Nazaruddin

Kompas.com - 06/08/2011, 03:36 WIB

Oleh Agus Sudibyo

Mencengangkan! Demikianlah kesaksian Nazaruddin soal keterlibatan sejumlah koleganya dalam beberapa skandal penyalahgunaan dana publik.

Nazaruddin blakblakan menyebut nama-nama tenar di negeri ini, berapa uang yang mereka terima, dari mana asalnya, dengan cara bagaimana didapatkan, dan untuk apa uang itu digunakan. Tak ada yang dapat menahan ”nyanyian” Nazaruddin dan tak ada yang dapat menghalangi pers memberitakannya. Publik pun dibikin penasaran menunggu babak selanjutnya dari drama yang pelaku utamanya bersembunyi entah di mana.

Sadar publisitas

Mengapa Nazaruddin memilih menyampaikan kesaksiannya ke pers? Hampir pasti, Nazaruddin sadar publisitas. Dia tidak mau disalahkan sendirian dalam skandal pembangunan wisma atlet SEA Games dan berusaha menyeret nama-nama yang, menurut dia, juga terlibat.

Nazaruddin paham, cara paling efektif adalah membeberkan keterlibatan mereka melalui pers. Pers selalu haus terhadap konflik, sensasi, terlebih-lebih jika berbau kepentingan publik. Pemberitaan pers secara politik juga sangat signifikan memengaruhi sejumlah pihak.

Namun, bagi publik, motif Nazaruddin tidak begitu penting. Bagaimanapun tetap lebih berharga Nazaruddin blakblakan daripada bungkam. Meski kesaksian Nazaruddin belum tentu seratus persen benar, setidak-tidaknya memberikan indikasi awal yang sangat berharga untuk mengungkapkan skandal yang merugikan negara dan mencederai rasa keadilan masyarakat.

Andai saja Nazaruddin bungkam atau dibungkam, publik justru kehilangan kesempatan langka untuk mengetahui skandal tersebut. Maka, sudah pada tempatnya jika pers terus memberitakan ”nyanyian” Nazaruddin. Sejauh ”nyanyian” itu tetap diuji kebenarannya dan pihak-pihak yang terpojokkan diberi kesempatan mengklarifikasi. Sejauh pers tidak menghakimi atau tanpa sadar memahlawankan orang yang berani berbicara lantang, tetapi sebenarnya tetap menjadi bagian dari skandal.

Di sisi lain, kesaksian Nazaruddin ke pers jelas mencerminkan ketidakpercayaan terhadap kesungguhan penegak hukum dan pemerintah untuk mengusut tuntas skandal ini. Skeptisisme yang sesungguhnya juga dirasakan publik kebanyakan. Tentu kita berharap Nazaruddin segera menyerahkan diri dan memberikan bukti-bukti kepada penegak hukum.

Namun, jika ini sungguh terjadi, yakinkah kita skandal akan diusut tuntas dan Nazaruddin tak dikorbankan sendirian mengingat begitu strategis posisi orang-orang yang dia sebut dalam kesaksiannya. Jangan-jangan penegak hukum hanya memidanakan pelaku langsung, dan bukan pelaku utama atau pelaku-pelaku lain, sebagaimana telah terjadi pada beberapa kasus.

Menariknya di sini adalah ketika komitmen penegak hukum diragukan dan ketika pemerintah terbukti tak mampu bersikap tegas dalam banyak hal, boleh jadi pemberitaan pers harapan paling realistis menyelesaikan masalah. Bisa jadi kita berada dalam situasi di mana pemberitaan pers adalah peluang utama mengungkapkan skandal di sekitar Nazaruddin. Setidaknya pers dapat mengondisikan penegak hukum dan pemerintah untuk tak punya pilihan lain selain mengusut tuntas, siapa pun yang akhirnya diputuskan bersalah.

Perlu digarisbawahi, posisi pers belakangan sedang kuat-kuatnya. Kita masih ingat bagaimana upaya pengerdilan KPK dan kriminalisasi ”Bibit dan Chandra” tahun lalu dapat digagalkan masyarakat sipil, terutama dengan penggalangan opini publik melalui media.

Kala itu, media mampu menggerakkan perlawanan masif dan menggiring pemerintah ke satu pilihan tunggal: mengikuti kemauan masyarakat menyelamatkan KPK. Yang terakhir, kritik presiden terhadap cara pers memberitakan skandal Nazaruddin melahirkan kritik balik lebih besar kepada presiden sendiri.

Pers harapan terakhir

Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan pers selanjutnya? Mampu menyajikan kesaksian Nazaruddin dan membuka tabir kerahasiaan, bagaimanapun, adalah sebuah prestasi. Namun, dengan kekuatannya yang demikian besar, pers seharusnya segera beranjak menuju prestasi yang lebih tinggi: mengungkapkan semua pelaku dalam saga pembangunan wisma atlet SEA Games dan Stadion Hambalang. Sekali lagi, masyarakat mulai skeptis terhadap keseriusan penegak hukum dan kemampuan pemerintah menangani masalah ini.

Sekadar mengulang-ulang kesaksian Nazaruddin, lalu menampilkan komentator andal, tentu tak memadai lagi. Pers harus melampaui aktualitas, lebih dari sekadar menampilkan apa yang paling baru dari Nazaruddin dan para komentator. Jelas sekali, setiap tuduhan Nazaruddin selalu dibantah para tertuduh. Apakah perbantahan ini akan terus-menerus dieksploitasi media? Tentu ada batasnya.

Media harus mampu melampaui Nazaruddin dalam beberapa pengertian. Fokus pemberitaan seharusnya tak lagi melulu ke Nazaruddin, tetapi juga ke para tertuduh lain. Orientasi pemberitaan juga semestinya bergeser dari dimensi konflik antartokoh politik ke dimensi pemberantasan suap dan korupsi.

Yang tak kalah urgen, mengubah pendekatan pers dari sekadar membeberkan masalah ke menyelesaikan masalah secara tuntas. Jurnalisme pernyataan harus dilanjutkan dengan jurnalisme investigatif. Diskusi di layar televisi akan menjadi pertunjukan belaka jika hanya mengulang-ulang hal yang sama dan tak dibarengi dengan upaya menginvestigasi kesaksian-kesaksian Nazaruddin.

Sudah dua bulan lebih masyarakat saban hari disuguhi berita Nazaruddin. Tentu tak elok jika yang disuguhkan melulu cekcok antarelite politik, layaknya sinetron. Pers mulai dituduh mengeksploitasi konflik antarelite politik dengan matra komodifikasi. Tiba saatnya membuktikan, tuduhan itu tak benar dengan mengungkapkan kebenaran skandal-skandal di sekitar Nazaruddin. Sekali lagi, perslah harapan paling realistis mengusut tuntas skandal itu saat ini.

Agus Sudibyo Wakil Direktur Yayasan SET Jakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com