Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prita dan Lorong Keadilan

Kompas.com - 19/07/2011, 02:46 WIB

Perasaan hukum masyarakat merupakan semangat atau roh penegakan hukum. Penegak hukum tidak boleh membutatulikan dirinya dengan argumentasi bahwa penegakan hukum hanya dilakukan semata-mata sesuai bunyi undang-undang. Paham legisme itu telah lama terkubur dari doktrin hukum. Akan tetapi, arus utamanya bisa saja menjelma dalam bentuk lain. Praktis penegak hukum hanya menjadi tawanan undang-undang. Dengan demikian, penegakan hukum seharusnya diganti dengan penegakan undang-undang alias penegakan hukum dengan menggunakan kacamata kuda.

Dalam suasana seperti ini, kita tidak ingin para penegak hukum hanya menjalankan undang-undang tanpa mengedepankan hati nurani. Penegakan hukum minus hati nurani akan menghadirkan ketidakadilan. Itulah yang dirasakan oleh terpidana saat ini. Sarjana klasik dalam hukum pidana, Vos, menyatakan bahwa hukum pidana itu ditujukan terhadap perbuatan yang luar biasa (uitzonderlijke gedragingen), yakni jika setiap orang dalam keadaan yang sama akan melakukan perbuatan yang sama. Di luar itu adalah perbuatan yang ”luar biasa”.

Perbuatan terpidana bukanlah perbuatan yang luar biasa, tetapi menjalankan hak-hak yang dijamin oleh undang-undang terhadap pelayanan sebuah institusi publik.

Progresivitas

Bergesernya makna ajaran melawan hukum ke arah yang lebih luas disebabkan progresivitas hakim hampir satu abad lalu merupakan gerakan revolusioner dan menjadi tonggak sejarah pertumbuhan doktrin melawan hukum. Oleh karena itu, benarlah pertimbangan majelis hakim sebelumnya bahwa apa yang dilakukan terdakwa merupakan perbuatan menjalankan hak-haknya sebagai konsumen bukan dengan maksud mencemarkan nama baik, oleh karena itu harus dibebaskan (Vrijspraak).

Kini saatnya juga lembaga peradilan melakukan revolusi semata-mata untuk menjamin kebebasan manusia guna mengemukakan pendapat tanpa dibayang-bayangi oleh rasa takut dikriminalisasikan. Putusan hakim tidak mustahil akan menjadi bumerang bagi rumah sakit yang mempertontonkan arogansinya dengan memidana konsumen yang seharusnya dilindungi. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit telah menetapkan salah satu hak pasien adalah hak untuk mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik.

Alasan mengajukan PK apakah didasarkan pada kekhilafan hakim atau putusan hukum yang saling bertentangan bisa diproyeksikan pula dengan (akan) berlakunya undang-undang tentang rumah sakit ini. Tidak ada cara lain kecuali melawan putusan hukum melalui upaya hukum PK. Hanya kearifan dan kejujuran dapat membebaskan terpidana dari jerat hukum. Karena kearifan dan kejujuran pula, tidak tertutup kemungkinan cara lain ditempuh.

Terobosan hukum akan terjadi apabila penegak hukum melakukan progresivitas dengan tidak hanya membaca teks undang-undang, tetapi juga memberikan makna hukum dalam konteks saat ini dan memandang hukum pidana sebagai ultimum remidium agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.

M ALI ZAIDAN Pengamat Hukum

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com