Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Koruptor Lari, Prita Dihukum

Kompas.com - 12/07/2011, 03:09 WIB

OLEH W RIAWAN TJANDRA

Dunia hukum di negeri ini kembali menampilkan fenomena yang kontras.

Saat masyarakat gusar atas raibnya Nazaruddin yang lari dari jerat hukum, putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan kasasi jaksa dalam kasus Prita Mulyasari kembali mengusik rasa keadilan masyarakat.

Jika dirunut ke belakang, sebenarnya pada 29 Desember 2009 majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang memutus bebas Prita dari tuntutan jaksa, enam bulan penjara. Alasan utama membebaskan Prita adalah unsur dakwaan pencemaran nama baik Rumah Sakit (RS) Omni Internasional tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Sebenarnya dalam kasus perdata atas gugatan ganti rugi terhadap Prita dari RS Omni Internasional, MA telah memenangkan kasus perdata yang dihadapi oleh Prita. Vonis MA dalam kasus perdata tersebut membebaskan Prita dari seluruh gugatan ganti rugi. Hakim Pengadilan Tinggi Banten sebelumnya mewajibkan Prita membayar uang ganti rugi sebesar Rp 204 juta kepada RS Omni Internasional.

Kini, Prita dalam vonis kasasi MA dikenai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, bukan lagi Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik seperti dakwaan jaksa di tingkat pertama. Informasi yang tercantum dalam laman informasi perkara MA menyebutkan, putusan bernomor register 822 K/PID.SUS/2010 sebenarnya diputus pada 30 Juni 2011.

Majelis hakim yang mengadili kasasi jaksa dalam kasus Prita diketuai oleh Zaharuddin Utama dan beranggotakan Salman Luthan serta Imam Harjadi. Mereka mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan jaksa dan sebaliknya menolak permohonan terdakwa (Prita) atau pengacaranya. Proses dari berkas kasasi masuk sampai putusan dikeluarkan oleh MA telah berlangsung lebih dari setahun—mulai 12 April 2010, kemudian berkas didistribusikan pada 30 Juni 2010 dan baru diputus pada 30 Juni 2011 dengan vonis yang mengabulkan kasasi dari jaksa.

Dua putusan berbeda

Dengan putusan itu, maka dari lembaga yang sama, yaitu MA, telah terdapat dua putusan yang bertolak belakang. Dalam kasus perdata, MA menolak gugatan ganti rugi RS Omni Internasional atau memenangkan Prita. Sebaliknya, dalam perkara pidananya, MA justru mengalahkan Prita dengan mengabulkan permohonan kasasi jaksa. Padahal, kasus Prita pernah menjadi keprihatinan masyarakat luas sehingga melahirkan gerakan koin untuk Prita dan berhasil mengumpulkan Rp 800 juta.

Tentu hal itu mengusik rasa keadilan masyarakat, mengapa ada inkonsistensi dari MA dalam memberikan keadilan terhadap Prita? Sebaliknya, cukup banyak kasus korupsi berakhir antiklimaks dengan jatuhnya vonis yang ringan jika dibandingkan dengan kerugian negara dan kerusakan struktural sebagai dampak korupsi yang menggerogoti uang negara.

Putusan MA yang bertolak belakang antara putusan dalam kasus perdata dan pidana dalam kasus Prita, jika dilihat dari sudut pandang studi-studi hukum kritis (critical legal studies) yang diperkenalkan oleh Roberto M Unger, menunjukkan bahwa di negeri ini tatanan hukum telah mendukung secara sistematis kesenjangan antara yang berkuasa dan yang lemah.

Tatanan hukum di tangan para penegak hukum hanya menjadi apa yang dalam bahasa Perancis disebut sebagai bouche de la loi (terompet undang-undang belaka) sehingga mementahkan rasa keadilan berdasarkan hukum progresif. Padahal, hal ini pernah dirasakan Prita melalui putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang memutus bebas Prita dari tuntutan jaksa.

Hukum progresif tidak semata-mata berkaca dari bunyi norma yang tertulis dalam teks undang-undang, tetapi secara responsif mampu menangkap keadilan substantif yang mencerminkan rasa keadilan sosial (social justice).

Saat sekian banyak koruptor bisa lari dan malah memperkuda hukum, hukuman terhadap Prita kembali membuktikan fungsi yudikatif yang sekadar menjadi terompet undang-undang tersebut. Siapakah Prita—ibu rumah tangga yang hanya mengeluhkah buruknya pelayanan sebuah RS—dibandingkan dengan para koruptor kakap yang siap menyuap dengan timbunan uang? Jangan-jangan ada sederet Prita lain yang dikriminalisasi untuk perkara-perkara kecil.

W RIAWAN TJANDRA Direktur Pascasarjana dan Dosen FH Universitas Atma Jaya, Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com