JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan calon anggota legislatif Partai Hanura dari Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I, Dewi Yasin Limpo, menyatakan segala protes atas tudingan yang dialamatkan padanya.
Menurut Tim Investigasi Mahkamah Konstitusi, Dewi adalah salah satu orang yang diduga terlibat dalam pemalsuan dan penggelapan surat jawaban putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112 tertanggal 14 Agustus 2009.
Tudingan tersebut ia bantah keras. Dewi justru merasa sebagai korban dalam kasus tersebut. Dewi mengakui mendatangi KPU dan MK untuk mempertanyakan keputusan MK yang ternyata, menurutnya, membuat ia kehilangan perolehan suara dari daerah pemilihannya. Hal ini ia ketahui dari juru panggil MK, Masyhuri Hasan.
"Gugatan saya waktu itu dari Partai Hanura diterima dan ditandatangani oleh Ketua MK Mahfud MD. Gugatan kami dikabulkan dengan PHPU 84. Yang saya heran, kenapa gugatan saya dikabulkan, tapi suara saya berkurang. Kenapa bisa begitu? Saya datang cari emas, tapi perunggu di tangan pun hilang, bagaimana caranya? Saya dikabulkan MK, tapi orang lain duduk dan bukan dengan Golkar yang berperkara dengan saya. Yang dapat justru saudara saya dari Gerindra, Mestiriyani Habie," papar Dewi di hadapan Panja Mafia Pemilu, Kamis (7/7/2011) di Gedung DPR.
Menurut Dewi, ia tak peduli soal surat putusan MK baik yang asli maupun palsu. Sebab, saat diputuskan pada rapat Pleno KPU tanggal 2 September 2009 tertulis keputusan itu berdasarkan Putusan MK Nomor 084. "Saya kan ditetapkan dengan putusan dengan nomor 084. Bapak boleh lihat putusan KPU sebagai anggota DPR. Apakah saya diangkat oleh surat 112, tdak ada itu. Ini berdasarkan surat putusan MK Nomor 084. Saya tidak peduli dengan surat asli atau palsu. Karena dari surat penetapan itu, hanya dituliskan berdasarkan surat putusan MK Nomor 084. Tapi, kemudian KPU katakan saya dibatalkan karena pemutusan itu berdasarkan surat palsu. Pertanyaan saya, di mana suara saya. Saya dipancung duluan sebelum diadili. Saya protes itu. Saya korban," tuturnya.
Dewi mengemukakan tidak bisa menerima pembatalan itu. Ia akhirnya melaporkan KPU ke kepolisian. Namun, kasus tersebut tidak berjalan.
Setelah mendengar pernyataan Dewi, Ketua Panja Mafia Pemilu Chairuman Harahap menjelaskan bahwa surat keputusan KPU Nomor 379 yang memutuskan Dewi menang memang menggunakan surat putusan MK 084. Sementara surat nomor 112 memang hanya digunakan dalam keputusan internal KPU. Hal itu karena surat nomor 112 adalah surat jawaban MK atas pertanyaan KPU. Oleh karena itu, memang tidak dimasukkan nomor 112 surat dalam putusan KPU itu.
"Ya mungkin ibu memang tidak tahu, karena surat 112 hanya dipakai dalam internal KPU. Memang benar surat putusan KPU nomor 379 itu berdasarkan surat putusan MK 084," jelas Chairuman.
Pada akhirnya, Dewi tetap berpegang pada pernyataannya bahwa ia tidak mengetahui soal surat palsu MK itu. Ia hanya tahu bahwa ia diputuskan secara sah dengan surat KPU atas dasar putusan MK nomor 084.
Ia pun hanya mengetahui bahwa ia akhirnya dibatalkan menjadi anggota legislatif setelah dikirimkan surat penjelasan dari KPU. "Saya dibatalkan hanya dengan surat penjelasan. Surat itu ditujukan kepada Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto, yang menyatakan kursi saya tidak jadi karena berdasarkan surat palsu MK bernomor 112. Ketua juga bertanya, bagaimana bisa surat putusan KPU, berdasarkan surat nomor 112, padahal di awal SK-nya ditulis nomor 084? Saya katakan apa adanya. Tangkap saya kalau ternyata saya bersalah," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.