Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Andi: Kenapa MK Telat Urus Surat Palsu?

Kompas.com - 01/07/2011, 05:58 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi Nurpati balik mempertanyakan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurutnya justru sangat terlambat menyadari bahwa KPU menggunakan surat palsu jawaban putusan MK. Hal ini disampaikan Andi di rapat dengar pendapat bersama Panja Mafia Pemilu di gedung parlemen, Kamis (30/6/2011).

Menurut Nurpati, saat rapat Pleno KPU pada 2 September 2011 yang membahas surat putusan MK, hadir pula Badan Pengawas Pemilu, dan sejumlah Staf MK. Namun, ketika Bawaslu keberatan dengan surat putusan MK yang dibacakan bagian Biro Hukum KPU, staf MK, menurut Andi, hanya diam saja dan tidak ikut keberatan. Saat itu Andi memimpin rapat pleno menggantikan Ketua KPU yang keluar dari rapat.

Saat rapat itu Bawaslu keberatan karena Andi memenangkan Hanura, dalam hal ini Dewi Yasin Limpo sebagai caleg dapil 1 Sulawesi Selatan. "Dari hasil putusan MK juga berpengaruh pada perolehan kursi kemudian dilihat total, Hanura lah yang mendapat kursi, yaitu ibu Dewi Yasin Limpo. Rapat itu tidak hanya dihadiri oleh Bawaslu, tapi juga pihak MK. Dan ternyata tidak ada keberatan, dari pihak MK yang hadir saat itu, ketika isi surat dibacakan. Kita berpendapat tidak ada komplain. Disampaikan keberatan oleh Bawaslu, ya kita diskusi. Tapi pihak MK, tidak keberatan saat itu," papar Nurpati.

Nurpati berdalih saat itu ketika memutuskan hasil rapat pleno, dirinya tidak mengetahui dan melihat langsung surat yang menurut Ketua MK, Mahfud MD, adalah surat palsu karena bukan dibacakan langsung olehnya.

Surat palsu yang dimaksudkan oleh Mahfud adalah surat bernomor 112/PAN. MK/VIII/2009 tertanggal 14 Agustus yang dikirim melalui faksimili. Ini tentu saja memunculkan pertanyaan baru bagi Panja Mafia Pemilu. "Bagaimana bisa ibu (Andi Nurpati) memutuskan tapi tidak melihat isi surat itu, hanya mendengar dibacakan (oleh Biro Hukum KPU). Sebagai orang yang memimpin, harusnya melihat surat putusan itu," tanya Ketua Panja, Chairuman Harahap kepada Nurpati.

Andi Nurpati tak bisa menjelaskan lebih lanjut, ia tetap menyatakan bahwa dirinya memang tidak melihat surat itu dan hanya memutuskan sesuai dengan apa yang telah dibacakan oleh Biro Hukum.

Setelah pemutusan kemenangan Dewi Yasin Limpo, lanjut Nurpati, dua minggu kemudian tepatnya 16 September 2009, MK mengajukan pada KPU bahwa surat yang dijadikan landasannya ternyata surat palsu. "Dua minggu keberatan tidak ada koreksi, baik lisan maupun tertulis. Tapi kemudian pada 16 September MK mengirimkan surat dan isi surat itu menyatakan isi surat yang dibacakan di rapat pleno KPU, tanggal 14 Agustus dinyatakan palsu," katanya.

Penjelasan Andi Nurpati bertolak belakang dengan fakta-fakta yang diperoleh Panja Mafia Pemilu dari keterangan staf MK maupun hasil tim Investigasi MK. Ia bahkan mengaku menerima dua surat yang sama bernomor 113 lewat faksimili dan satunya yang dikirim MK melalui Masyhuri Hasan. Padahal, sebelumnya menurut Mahfud, pihaknya hanya mengirimkan Surat bernomor 112/PAN. MK/VIII/2009 dan nomor 113/PAN. MK/VIII/2009 tertanggal 17 Agustus 2009 satu kali saja saat itu.

MK mengaku tak menyangka ada satu surat dari faksimili yang nomornya mirip 112 dengan milik MK. Mahfud menyatakan surat bernomor 112 melalui faksimili itulah yang merupakan versi surat palsu yang dipergunakan Andi untuk memutuskan status Dewi Yasin Limpo.

Perdebatan mengenai nomor surat dan asal surat faksimili palsu ini kemudian menemui jalan buntu. Pengurus Partai Demokrat itu, memberikan jawaban-jawaban yang berbeda dengan sejumlah saksi Panja. Oleh karena itu Panja belum menemukan siapa yang menyimpan maupun mengirim surat palsu melalui faksimili.

Panja menjadwalkan akan memanggil Biro Hukum KPU yang membacakan surat putusan versi palsu di rapat pleno KPU saat itu untuk dimintai keterangan. "Sudah kita rencanakan dan jadwalkan nanti untuk memanggil biro hukum yang membacakan surat itu," tandas Chairuman sebelum menutup rapat tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    BSSN Akui Data Lama INAFIS Bocor, Polri Akan Lakukan Mitigasi

    BSSN Akui Data Lama INAFIS Bocor, Polri Akan Lakukan Mitigasi

    Nasional
    Anies dan Ganjar Diprediksi Menolak jika Ditawari jadi Menteri Prabowo

    Anies dan Ganjar Diprediksi Menolak jika Ditawari jadi Menteri Prabowo

    Nasional
    Ingatkan Satgas, Kriminolog: Jangan Dulu Urusi Pemain Judi 'Online'

    Ingatkan Satgas, Kriminolog: Jangan Dulu Urusi Pemain Judi "Online"

    Nasional
    Dilema PDI-P di Pilkada Jakarta: Gabung PKS atau Buat Koalisi Baru

    Dilema PDI-P di Pilkada Jakarta: Gabung PKS atau Buat Koalisi Baru

    Nasional
    Jelang Pilkada, Baharkam Polri Minta Jajaran Petakan Kerawanan dan Mitigasi Konflik

    Jelang Pilkada, Baharkam Polri Minta Jajaran Petakan Kerawanan dan Mitigasi Konflik

    Nasional
    PPATK Ungkap Lebih dari 1.000 Anggota Legislatif Main Judi Online

    PPATK Ungkap Lebih dari 1.000 Anggota Legislatif Main Judi Online

    Nasional
    Bawaslu Luncurkan Posko Kawal Hak Pilih Pilkada Serentak 2024

    Bawaslu Luncurkan Posko Kawal Hak Pilih Pilkada Serentak 2024

    Nasional
    KY Terima Laporan KPK terhadap Majelis Hakim Perkara Gazalba Saleh

    KY Terima Laporan KPK terhadap Majelis Hakim Perkara Gazalba Saleh

    Nasional
    Belum Sentuh Bandar, Satgas Pemberantasan Judi Online Dianggap Mengecewakan

    Belum Sentuh Bandar, Satgas Pemberantasan Judi Online Dianggap Mengecewakan

    Nasional
    Mempermainkan Hukum sebagai Senjata Politik

    Mempermainkan Hukum sebagai Senjata Politik

    Nasional
    KPK Duga Korupsi Bansos Presiden Rugikan Negara Capai Rp 125 Miliar

    KPK Duga Korupsi Bansos Presiden Rugikan Negara Capai Rp 125 Miliar

    Nasional
    Jadi Tersangka Korupsi, Eks Sestama Basarnas Mundur dari Kepala Baguna PDI-P

    Jadi Tersangka Korupsi, Eks Sestama Basarnas Mundur dari Kepala Baguna PDI-P

    Nasional
    KY Prioritaskan Laporan KPK terhadap Majelis Hakim yang Bebaskan Gazalba Saleh

    KY Prioritaskan Laporan KPK terhadap Majelis Hakim yang Bebaskan Gazalba Saleh

    Nasional
    PPATK Catat Perputaran Dana terkait Pemilu 2024 Senilai Rp 80,1 T

    PPATK Catat Perputaran Dana terkait Pemilu 2024 Senilai Rp 80,1 T

    Nasional
    Anggota DPR Sebut PPATK Macan Ompong karena Laporan Tak Ditindaklanjuti Penegak Hukum

    Anggota DPR Sebut PPATK Macan Ompong karena Laporan Tak Ditindaklanjuti Penegak Hukum

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com