Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KY dan Akuntabilitas Hakim

Kompas.com - 30/06/2011, 02:38 WIB

Oce Madril

Korupsi memang tak pandang bulu. Tak hanya menyentuh aktor politik dan pengusaha, hakim sang ”wakil Tuhan” pun tak berdaya dan takluk.

Sangat ironis. Hakim yang seharusnya benteng terakhir pencari keadilan sekarang justru pihak yang harus diadili. Korupsi peradilan bukan cerita baru. Tertangkapnya hakim Syarifuddin hanya sepenggal kisah dari episode panjang mafia peradilan di negeri ini.

Sebelumnya ada sogok pengacara Probosutedjo, Harini Wiyoso, kepada beberapa staf Mahkamah Agung yang diduga akan diberikan kepada Ketua MA (saat itu) Bagir Manan. Kemudian pengacara mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh, Tengku Syaefuddin Popon, ditangkap saat menyogok panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005). Pada 2010, dua hakim, Muhtadi Asnun dan Ibrahim, ditangkap karena terbukti menerima sogok.

Masih banyak praktik mafia peradilan yang tak terbongkar. Ini membuktikan bahwa lembaga peradilan sangat rentan terhadap sogok dan korupsi. Itu menurunkan kredibilitas peradilan dan menggerus kepercayaan publik.

Akuntabilitas hakim

Merebaknya mafia peradilan membuka kembali perdebatan tentang akuntabilitas hakim. Konsep itu selalu dipertentangkan dengan independensi hakim. Padahal, kedua konsep itu tak bertentangan. Ia ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Akuntabilitas merupakan sisi lain dari upaya menjamin independensi hakim dari berbagai pengaruh pihak luar dalam memutuskan perkara.

Sebagaimana dinyatakan Shameela Seedat dalam Judicial Accountability Mechanism, akuntabilitas merupakan pelengkap independensi. Aturan konflik kepentingan, mekanisme pencegahan suap, dan pengawasan hakim merupakan contoh mekanisme akuntabilitas yang bertujuan memastikan hakim bertindak independen, imparsial, dan profesional dalam proses ajudikasi. Dengan begitu, mekanisme akuntabilitas tak bisa dilihat sebagai ancaman terhadap independensi, melainkan lebih menumbuhkan kepercayaan publik terhadap hakim dan peradilan.

Dalam sistem demokrasi, tak ada kekuasaan tanpa akuntabilitas. Semua cabang kekuasaan negara harus dapat dipertanggungjawabkan. Hakim dan peradilan bukanlah pihak yang dikecualikan dari mekanisme akuntabilitas ini.

Roger K Warren dalam Judicial Accountability, Fairness, and Independence menganalogikan bahwa jika hakim menikmati tingkat independensi yang tinggi, itu tak berarti hakim berada di atas hukum atau tak tunduk pada asas akuntabilitas. Justru akuntabilitas diperlukan agar independensi yang tinggi itu tidak disalahgunakan.

Jika tidak, seperti kata Brian Z Tamanaha dalam On the Rule of Law, kekuasaan hakim itu akan berujung pada penyalahgunaan kekuasaan. Pada titik inilah rule of law berubah jadi rule by judges. Maka, hakim harus akuntabel. Putusan dan perilakunya harus dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Mekanisme akuntabilitas tak hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban; juga memperkuat independensi dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Maksimalkan KY

Untuk memastikan berjalannya mekanisme akuntabilitas, Pasal 24B UUD 1945 mendelegasikan tugas itu kepada Komisi Yudisial (KY). Kewenangan pengawasan hakim oleh KY bertujuan memperkuat akuntabilitas peradilan. Walau pernah dibatalkan MK, kewenangan pengawasan ini akhirnya dipulihkan dengan keluarnya UU No 3/2009 tentang MA dan UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Diatur dalam Pasal 32A UU MA dan Pasal 40 UU Kekuasaan Kehakiman, pengawasan eksternal terhadap perilaku hakim dilakukan KY. Pengawasan ini berdasarkan pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang disahkan bersama oleh Ketua MA dan Ketua KY. Bahkan, juga diatur perihal penerapan sanksi. Pasal 11A UU MA menyatakan bahwa KY dapat mengusulkan pemberhentian hakim nakal melalui mekanisme Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Majelis ini terdiri dari tiga hakim agung dan empat anggota KY.

Dilihat dari aturan hukum dan komposisi MKH, posisi KY sangat kuat. KY bermodal cukup memperkuat mekanisme akuntabilitas melalui pengawasan hakim. Sepertinya KY belum memaksimalkan kekuatannya. Ini tergambar dari sedikit kasus hakim nakal yang dibawa ke MKH. Selama 2009-2010, MKH hanya menyidangkan tujuh kasus. Hanya tiga hakim yang diberhentikan secara tak hormat. Padahal, kebanyakan kasus yang dibawa ke MKH adalah korupsi, pemerasan terhadap pihak beperkara, dan perbuatan tercela.

Semestinya KY dapat memaksimalkan perannya menindak hakim nakal. Ini tergambar dari banyaknya laporan hakim nakal. Selama 2005-2010 KY menerima 8.723 laporan. Selama Januari-April 2011, KY menerima 1.414 laporan. Kebanyakan terkait dengan perilaku hakim dan kaitannya dengan putusan.

Tingginya antusiasme publik itu harus dijawab oleh KY. Jangan sampai KY hanya menjadi komisi penerima laporan hakim nakal tanpa bisa menindaklanjutinya.

Oce Madril Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com