Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Dewan Perwakilan Rakyat (RUU BPJS DPR), Senin (27/6), sudah memasuki masa laporan pleno atau uji publik. RUU BPJS merupakan turunan dari UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi di Jakarta, Senin, mengungkapkan, kalangan pengusaha mengkhawatirkan proses pembahasan RUU BPJS yang sekadar mengejar tenggat pengesahan.
Pemerintah dan DPR sepakat membentuk BPJS jangka pendek dan jangka panjang yang menjalankan program PT Jamsostek (Persero), PT Askes (Persero), PT Taspen (Persero), dan PT Asabri (Persero) sesuai masa penggunaan.
Pengusaha khawatir, mereka harus turut menanggung iuran jaminan sosial rakyat miskin. Beban lain, yang bisa jadi turut menimpa buruh, mereka masih wajib membayar iuran Jamsostek sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Proses peralihan empat badan usaha milik negara (BUMN) kepada dua BPJS baru juga dikhawatirkan Kementerian BUMN. Menteri BUMN Mustafa Abubakar menyurati Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo dan enam menteri soal itu.
Dalam surat Nomor S-374/MBU/2011 tanggal 24 Juni 2011 dijabarkan, satu undang-undang tidak dapat menganulir undang-undang lain. Pengalihan program dan kepesertaan mengurangi sebagian hak peserta.
Pengalihan aset, program, peserta, dan kelembagaan dapat mengguncang perekonomian karena keempat BUMN mengelola Rp 190 triliun yang diinvestasikan di perbankan dan pasar keuangan nasional. Masalah krusial lain adalah daftar inventarisasi masalah (DIM) pemerintah tidak mengatur transformasi.
Secara terpisah, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Abdul Latif Algaff meminta pemerintah tidak terjebak DIM RUU BPJS yang kental kepentingan lembaga donor asing.