Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) Unggul Budihusodo menuturkan, berdasarkan survei yang dilakukan timnya, hanya 20 persen penderita hepatitis yang sanggup membeli obat.
”Ketika sudah terdeteksi, langkah selanjutnya adalah pengobatan. Namun, hanya sebagian kecil yang sanggup membeli obat,” kata Unggul saat memaparkan bahaya hepatitis B dan C, Jumat (24/6) di Kantor Kementerian Kesehatan RI.
Hepatitis adalah infeksi
Di Indonesia, setiap tahun diperkirakan ada sekitar 14.000 orang meninggal akibat kanker hati.
Unggul menuturkan, pengobatan hepatitis dilakukan sesuai kondisi penderita. Setiap kali berobat, biaya yang diperlukan bisa mencapai Rp 2 juta. Padahal, seorang penderita bisa menjalani pengobatan hingga lebih dari 40 kali.
Prof Ali Sulaiman dari Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menuturkan, upaya penanggulangan hepatitis di Indonesia menghadapi banyak kendala. Selain tingginya harga obat, deteksi dini hepatitis juga terkendala biaya peralatan.
”Muncul fenomena gunung es karena 90 persen penderita hepatitis B dan C tidak terdeteksi,” katanya.
Melihat kondisi tersebut, menurut Ali, perlu ada strategi nasional guna menanggulangi hepatitis. Hal itu, antara lain, mencegah lewat deteksi dini dan imunisasi, mempermudah akses terapi dengan menyediakan obat murah, serta meningkatkan kualitas dokter umum dan dokter puskesmas.
Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan M Subuh mengatakan, pemerintah kini fokus menanggulangi hepatitis. Peralatan deteksi dini dan terapi hepatitis yang berbiaya lebih murah saat ini tengah dikembangkan. Selain itu, perusahaan farmasi juga diajak untuk memproduksi obat hepatitis yang murah.
”Tahun 2012, Jakarta akan menjadi pilot project program deteksi dini hepatitis. Targetnya bisa menjangkau 100.000 orang,” kata Subuh.