JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi I DPR RI menyetujui usulan Kementerian Luar Negeri RI untuk segera membayar diat atau uang kompensasi terhadap Darsem binti Daud, tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi, yang divonis mati pada Januari 2011 karena terbukti membunuh majikannya.
Namun, pihak keluarga bersedia memaafkan asalkan Darsem, TKI asal Subang, Jawa Barat tersebut, bersedia membayar diat sebesar Rp 4,7 miliar. "Terkait kasus Darsem binti Daud, Komisi I DPR RI menyetujui usulan Kementerian Luar Negeri untuk membayar diat sebesar Rp 4,7 miliar," kata Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq ketika membacakan salah satu keputusan rapat kerja dengan Kemlu, Senin (20/6/2011).
Dana ini akan diambil dari anggaran Kemlu terkait perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri. Menlu Marty Natalegawa mengatakan, soal pembayaran uang diat, Kemlu sebenarnya sudah melakukan koordinasi dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan BNP2TKI.
Kemenakertrans dan BNP2TKI juga memiliki anggaran tersendiri untuk perlindungan tenaga kerja Indoensia di luar negeri. "Namun, koordinasi ini belum membuahkan hasil," kata Marty.
Menlu mengatakan, pemerintah harus segera membayarkan uang diat tersebut, mengingat batas waktu pembayaran diat tersebut jatuh tempo pada 7 Juli. Bahkan, berkaca dari kasus eksekusi mati terhadap Ruyati binti Satubino (54), Menlu berniat mempercepat pelunasan uang diat. "Kami khawatir, deadline langkah-langkahnya lebih awal dari itu," kata Marty.
Ia menegaskan, perlindungan WNI di luar negeri menjadi tanggung jawab pemerintah, terlepas dari perbedaan peran kementerian yang ada. "Berbicara perlindungan warga negara, kita bicara sebagai satu-kesatuan. Pemerintah tidak disekat-sekat kementerian mana. Kita harus memberikan wujud kepedulian. Kemlu sudah siap bertindak," katanya.
Hal senada disampaikan anggota Komisi I DPR RI Tjahjo Kumolo. "Jangan terjebak kementerian mana yang bertanggung jawab atas pembayaran diat. Pemerintah wajib memberikan perlindungan warga negara yang ada di luar negeri. Soal dari mana uangnya, itu bukan ranah kita. Itu ranah pemerintah," kata Tjahjo.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI Teguh Juwarno mengatakan, keputusan Komisi I DPR RI ini dapat disampaikan pada rapat paripurna DPR RI agar dapat menjadi keputusan politik. Dengan demikian, bobot keputusan tersebut menjadi lebih kuat.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, beberapa waktu lalu, mengkritik pemerintah, yang seharusnya bisa bertindak cepat mengatasi masalah, termasuk dengan langsung membayari uang diat itu. Apalagi, menurut Anis, pemerintah bukannya tidak punya uang mengingat dari setiap TKI yang akan diberangkatkan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengutip secara resmi uang sebesar 15 dollar AS untuk biaya perlindungan TKI. Kutipan itu kemudian menjadi pendapatan negara bukan pajak kementerian bersangkutan.
"Jadi, enggak ada itu pemerintah tidak punya uang. Enggak perlulah sampai menunggu disumbang dermawan negara lain. Begitu ada keputusan besaran uang diat yang diminta keluarga korban, pemerintah semestinya langsung mengumumkan akan membayari. Kalau uang segitu saja minta dibayari dermawan, mau jadi apa negara kita ini?" ujar Anis.
Ia juga mempertanyakan transparansi besaran dana dan pertanggungjawaban penggunaan uang kutipan biaya perlindungan TKI itu, yang selama ini dinilainya tidak jelas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.