Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hukuman Mati Ruyati, Tamparan buat SBY

Kompas.com - 19/06/2011, 18:10 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarty menilai eksekusi hukuman mati tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia, Ruyati binti Satubi, merupakan tamparan bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kematian Ruyati telah menunjukan bahwa Presiden telah gagal melindungi hak asasi buruh migran Indonesia yang berada di luar negeri. 

Seperti yang diberitakan, Ruyati binti Satubi pada Sabtu (18/6/2011) dihukum mati setelah mengakui telah membunuh wanita asal Arab Saudi bernama Khairiya binti Hamid Mijlid pada 2010. "Pemerintah harus bertanggung jawab. Ini merupakan tamparan bagi SBY, dalam arti sebelumnya, dalam pidatonya pada sidang ke-100 ILO di Swiss, yang menyatakan mekanisme perlindungan pembantu rumah tangga (PRT) migran di luar negeri sudah berjalan itu tidak terbukti," ujar Poengky di Kantor Imparsial, Jakarta, Minggu (19/6/2011). 

Ditambahkan, kasus hukuman mati Ruyati harus dicermati dan dijadikan pembelajaran bagi pemerintah agar tidak kembali terulang. Dia menyarankan agar pemerintah melakukan upaya maksimal dalam menjamin keamanan para WNI yang berkerja di luar negeri. Salah satunya adalah terhadap 23 WNI di Arab yang mayoritas sebagai PRT Migran, yang sedang menghadapi ancaman hukuman mati. 

"Jadi, pemerintah harus me-review kasus-kasus yang menimpa buruh migran di luar negeri. Karena paling banyak kan kasusnya itu di Arab Saudi dan Malaysia, jadi kedua negara itulah yang harus menjadi fokus perhatian Pemerintah Indonesia dan terus secara keras mengupayakan 23 WNI di Arab itu agar diberi pengampunan untuk lolos dari hukuman mati," jelasnya. 

Selain itu, lanjut Poengky, undang-undang yang mengatur tentang buruh migran Indonesia juga perlu diatur. Menurut dia, dengan melihat banyaknya kasus yang menimpa buruh migran di luar negeri adalah bentuk gagalnya pemerintahan dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. "Itu kegagalan pemerintah yang paling besar. Jadi, sebagai gantinya, pemerintah harus bisa melindungi tenaga kerja kita yang ingin keluar negeri. Katakan saja, misalnya, pemerintah bisa memberikan pelatihan-pelatihan sebelumnya kepada orang-orang yang mau bekerja keluar negeri, sehingga setidaknya kehidupan mereka di sana itu bisa terjamin," tegasnya. 

Sebelumnya, secara terpisah, pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana mengatakan pemerintah harus bersikap tegas terhadap Pemerintah Arab Saudi terkait kasus tersebut. Ketegasan tersebut, menurut dia, dapat diwujudkan dengan melakukan penghentian pengiriman TKI ke Arab Saudi. Dia juga menyarankan agar pemerintah dapat melakukan tindakan diplomatik untuk memperlihatkan ketidaksenangan Indonesia atas perlakuan warganya, salah satunya dapat berupa pemanggilan pulang Duta Besar Indonesia di Arab Saudi atau mengurangi jumlah personel perwakilan Indonesia di negara tersebut. 

"Ketegasan perlu dilakukan agar Pemerintah Arab Saudi lebih sensitif terhadap nasib para TKI di negeri tersebut yang kerap menderita perlakuan kasar dan kekerasan. Ini semua berujung pada para TKI melakukan tindakan yang dituduhkan pada Ruyati, yaitu pembunuhan atas majikan. Apalagi bila otoritas Arab Saudi tidak serius dalam melakukan proses hukum, bahkan cenderung melindungi warganya yang melakukan kekejaman terhadap para TKI," kata Hikmahanto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili di Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili di Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Nasional
Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Nasional
'Presidential Club' Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

"Presidential Club" Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

Nasional
[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

Nasional
Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com