JAKARTA, KOMPAS.com — Peneliti Indonesia Corruption Watch atau ICW Tama S Langkun meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi tidak melupakan dugaan keterlibatan matan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin dalam kasus dugaan suap pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan.
Apalagi Pusat Pelaporan dan Analisi Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya transaksi mencurigakan terkait dugaan suap wisma atlet yang masuk ke rekening Nazaruddin. "Kita berharap KPK juga mengusutnya, tidak hanya gunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, tetapi juga undang-undang pencucian uang," katanya saat dihubungi, Kamis (9/6/2011).
Hal tersebut disampaikan Tama menanggapi rencana KPK memeriksa Nazaruddin di luar kasus Wisma Atlet SEA Games. Seperti diberitakan, KPK menjadwalkan pemeriksaan Nazaruddin pada Jumat (10/6/2011) terkait penyelidikan pengadaan dan revitalisasi sarana dan prasarana di Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional (Kementerian Pendidikan Nasional) 2007. Belum diketahui keterkaitan Nazar dalam kasus tersebut.
Menurut Tama, pimpinan KPK harus tegas dalam memutuskan, akan memanggil Nazaruddin atau tidak dalam kasus tersebut. "Karena namanya, kan, sudah disebut-sebut, KPK sudah tanda tangani pencegahan (terhadap Nazaruddin)," ujar Tama.
Ia juga mengkritisi sikap jajaran pimpinan KPK yang selama ini berbeda satu sama lain dalam menanggapi rencana pemanggilan Nazar. Menurut Tama, pernyataan pimpinan yang berbeda satu sama lain itu justru menimbulkan persepsi publik tentang buruknya koordinasi antar-pimpinan.
"Pimpinan bilang mau panggil, lainnya belum. Ada lagi yang bilang pasti dipanggil," kata Tama.
Sebelumnya, Ketua KPK Busyro Muqoddas (8/6/2011) mengatakan bahwa pihaknya akan memeriksa Nazar dalam pekan ini. Wakil Ketua KPK Haryono Umar (6/6/2011) mengatakan bahwa waktu pemanggilan Nazar tergantung penyidik. Menurut Tama, pimpinan KPK tak dapat lepas tangan dengan menyerahkan sepenuhnya kepada penyidik.
"Karena kerja penyidik, kan, tergantung pimpinannya, sejauh mana pimpinan bisa mengarahkan dan memimpin," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.