Jakarta, Kompas -
”Perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura sudah ada. Namun, perjanjian ini tak berlaku karena belum diratifikasi,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Senin (6/6) di Kampus Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Situasi ini, kata Mahfud, menjadi celah bagi koruptor dari Indonesia, termasuk mereka yang diduga terlibat korupsi, untuk berlari ke Singapura dan bersembunyi di sana. Apalagi, untuk pergi ke Singapura, seseorang hanya membutuhkan paspor dan tak perlu mempergunakan visa.
”Karena tidak ada perjanjian ekstradisi yang ditandatangani Indonesia, Polri tak boleh beroperasi di Singapura tanpa izin pemerintah setempat,” ujarnya lagi.
Mahfud berpendapat, setiap perjanjian di antara dua negara yang menyangkut pertahanan dan keamanan, kedaulatan, serta kriminal berat harus lekas diratifikasi. Karena itu, perjanjian ekstradisi antara Singapura dan Indonesia harus segera diratifikasi. Dengan demikian, koruptor bisa ditarik pulang ke Indonesia bersama dana yang mereka bawa.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin di Jakarta, Selasa, mengakui banyak kejanggalan dalam perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Tahun 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Singapura di Bali. Namun, perjanjian itu tak dapat dipisahkan dari perjanjian kerja sama pertahanan (DCA). Ketika hendak diratifikasi, anggota DPR periode 2004-2009 melihat ada beberapa kejanggalan.
Hal ini terutama berkaitan dengan penjelasan Indonesia akan memberikan tanah seluas 32.000 hektar untuk latihan bersama antara TNI dan Singapura. Wilayah yang diminta adalah di Baturaja, Sumatera Selatan. ”Secara politis, menukar orang yang bermasalah secara hukum dengan wilayah untuk berlatih sangat tak menguntungkan,” kata Hasanuddin. Syarat ini merugikan kepentingan Indonesia.