Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjaga Garuda Tetap Kokoh

Kompas.com - 27/05/2011, 02:51 WIB

Burung Garuda yang di dadanya bersemayam Pancasila serta kakinya memijak dan mencengkeram erat Bhinneka Tunggal Ika yang tampil kokoh dan kuat adalah personifikasi kekuasaan negara yang memproduksi keputusan politik dengan mencerminkan watak Pancasila.

Watak keputusan politik yang selalu didasarkan Pancasila akan menjadi rahim keadilan rakyat Indonesia. Dengan demikian, rakyat dan kualitas hidup rakyat adalah hakim untuk melihat garis ideologis atau mengukur kebijakan negara terkait Pancasila.

Itulah harapan mantan Bupati Bantul, Jawa Tengah, HM Idham Samawi, yang pernah menulis opini di harian Kompas. Namun, burung Garuda yang digambarkan itu kini meradang.

”Ibaratnya sakit-sakitan. Sayapnya mulai retak-retak. Bulunya tercerabut dari kulitnya yang luka. Kakinya lunglai mencengkeram Bhinneka Tunggal Ika, apalagi menggendong Pancasila,” keluh Idham Samawi, kini Ketua DPP PDI-P, kepada Kompas, Rabu (25/5).

Idham, yang memfokuskan perhatian pada kebijakan dan aturan yang tak sejalan dengan Pancasila, membenarkan berbagai peristiwa yang ikut menandai semakin terpinggirkannya Pancasila. Sebut saja penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten; perusakan gereja di Temanggung, Jawa Tengah; serta penyerangan terhadap warga Pondok Pesantren Al Mahadul Islam Yayasan Pesantren Islam, Pasuruan, Jawa Timur. Lalu, bom bunuh diri di Masjid Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon, Jawa Barat.

Terbitnya sejumlah peraturan daerah syariah di sejumlah provinsi, bendera

Merah Putih yang diinjak-injak, dan menguatnya kembali eksklusifisme kelompok dan cita-cita Negara Islam Indonesia (NII), ikut mencabik-cabik NKRI.

Di bidang ekonomi, pemerintah lebih memilih liberalisasi dan pasar bebas. Kedaulatan ekonomi negara pun terancam. Keadilan sosial semakin jauh karena semakin adanya kesenjangan.

Karut-marut reformasi

Selama Orde Baru, Pancasila tak diberi pijakan.

Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, buku-buku dan pidato pejabat tentang Pancasila yang tak memiliki kandungan substansial menjadi penyebab. Masyarakat tak yakin sila-sila itu memiliki makna dalam kehidupan mereka. Ditambah tak ada teladan dan panutan.

Reformasi yang datang juga tak menolong. Justru reformasi memunculkan kebebasan sehingga setiap orang mengekspresikan kebebasannya tanpa batas. Muncul perilaku intoleran termasuk pemikiran radikal dan eksklusifisme.

”Pemerintah berupaya menempatkan Pancasila sebagai tali ikat di antara berbagai kelompok dan umat,” ujat Menteri Agama Suryadharma Ali, Senin (23/5).

Forum Umat Beragama, dialog antartokoh umat dan masyarakat, serta pelibatan masyarakat didorong merekatkan kerukunan.

Namun, tak mudah. Upaya menjaga kerukunan yang dilakukan Suryadharma dinilai kontroversial. Misalnya, ia dituding anti-Ahmadiyah. Surat Keputusan Bersama 3 Menteri,

kata Suryadharma, bukan diskriminatif, melainkan untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Kenyataannya, warga Ahmadiyah kerap jadi korban.

Terhadap kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan terhadap golongan lain, Suryadharma memilih ”bermesraan”. ”Pendekatan hukum bukan kewenangan saya sebagai Menteri Agama,” kata dia.

Kunjungan dia ke Pondok Pesantren Al-zaytun yang pernah dituding sebagai basis Negara Islam Indonesia (NII) pun sempat diprotes Majelis Ulama Indonesia, meskipun

sebenarnya ia ingin memastikan kebenaran tuduhan NII tersebut.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan, reformasi yang ingin mengoreksi rezim sebelumnya, hasilnya justru kebablasan. Alhasil, pelaksanaan Pancasila semakin karut-marut, termasuk pemaknaan otonomi daerah yang luas.

Eksesnya, muncul peraturan daerah yang dianggap tak sesuai UUD 1945. Oleh sebab itu, harus dievaluasi.

Tahun lalu, ada 3.000 perda. Tahun ini naik 9.000 perda yang dievaluasi. Sebanyak 15.000 perda jadi target tahun 2012.

Dibagi-bagi

Mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie mencatat sejumlah ketentuan seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang beberapa kali diperbarui, kini menjadi UU No 25/ 2007, juga tak sesuai Pancasila.

”UU Penanaman Modal memungkinkan perusahaan patungan swasta Indonesia dan asing menguasai bidang-bidang yang penting bagi negara dan hajat hidup rakyat. Sebut saja pelabuhan, produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik, telekomunikasi, penerbangan, air minum, dan kereta api,” ujar Kwik.

Porsi kepemilikan sahamnya pun ditingkatkan. Kepemilikan bisa naik hingga 49 persen sebagaimana dalam UU No 6/1968. Tahun 1994 terbit lagi Peraturan Pemerintah Nomor 20, berisi perusahaan patungan tanpa menyebut porsi asing yang dapat melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat.

”Sangat jelas dari garis kebijakan yang konsisten sejak 1967. Kebijakan itu menunjukkan semakin kecilnya peran pemerintah di bidang pengadaan barang dan jasa publik, yaitu yang pengadaannya membutuhkan dana besar, tapi merupakan kebutuhan pokok rakyat,” simpul Kwik.

Bahkan, dia menduga sejak 1967 makin banyak hak kepemilikan negara yang dibagi-bagikan kepada segelintir perusahaan dan orang tertentu. Secara riil, 30 persen dari 92 persen minyak diperkirakan diambil kontraktor bagi hasil walaupun formalnya hanya 15 persen. Termasuk hak kepemilikan tanah.

”Saksikan pompa bensin Shell, Chevron, Petronas, dan lainnya. BBM yang dijual mahal kepada rakyat berasal dari bumi Indonesia. Rakyat dibuat tersesat dan menerima melalui istilah subsidi yang artinya pengeluaran uang, padahal tak ada uang yang keluar,” lanjut Kwik lagi.

Pemerintah menampik tudingan itu. ”Jika sudut pandangnya sepotong-sepotong, seperti sektor minyak dan gas serta pertambangan, maka ada kesan lemahnya kedaulatan ekonomi Indonesia terhadap asing. Namun, menyeluruh tidak ada. Sebab, selain kebijakan untuk memperbaiki pengelolaan, juga komitmen merevisi ketentuan dengan acuan UUD 1945,” ujar Menko Perekonomian Hatta Rajasa kepada Kompas, Rabu (25/5).

Contohnya, revisi UU No 8/1971 tentang Pendirian Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara menjadi UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Hatta menepis adanya dominasi asing dengan melihat kecilnya sumbangannya pada produk domestik bruto (PDB). ”Tahun 1999 kontribusi perusahaan asing hanya 7,62 persen. Tahun lalu kontribusi PDB dari perusahaan asing tinggal 2,82 persen. Jadi, menurun,” katanya.

Hatta mengatakan, pemerintah mengambil pelajaran dari masa lalu untuk menguatkan kedaulatan ekonomi, di antaranya merenegosiasi perusahaan minyak dan gas serta tambang asing lain.

Untuk mencegah kecenderungan adanya kepentingan sesaat bidang ekonomi dan sosial serta menjauhnya visi bangsa dari Pancasila, akan dilakukan penguatan proses legislasi.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi kepada Kompas di ruang kerjanya mengatakan, dalam tata pemerintahan, evaluasi semua peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah dan kabupaten menjadi tanggung jawab gubernur. Keputusan yang dibuat di tingkat provinsi menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri untuk mengevaluasi. Yang dikecualikan, semua peraturan menyangkut ekonomi keuangan menjadi kewenangan pemerintah pusat untuk mengevaluasi. ”Intinya, semua peraturan tidak boleh merugikan kepentingan umum dan bertentangan dengan peraturan di atasnya. Yang teratas adalah UUD 1945,” kata dia.

Masalahnya, lanjut Gamawan, undang-undang tentang otonomi daerah tidak mengatur sanksi bagi gubernur yang tidak melakukan kerjanya. Padahal, bupati/wali kota memiliki kewenangan yang sangat besar. Karena itu, undang-undang otonomi daerah mendesak direvisi bersama DPR.

Guru besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra, menyatakan, pengawalan setiap peraturan harus dimulai dari persiapan dan perencanaan naskah akademik serta pembahasan dan persetujuan di DPR maupun DPRD provinsi dan kabupaten.

”Hakim Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, hingga Pengadilan Tata Usaha Negara secara kualitatif harus menjadi penguji konstitusionalitas setiap ketentuan,” Saldi menjelaskan. (har/nmp)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com