Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendesain Gedung DPR

Kompas.com - 23/05/2011, 04:12 WIB

Acep Iwan Saidi

Program pembangunan gedung baru DPR dengan biaya di atas Rp 1 triliun itu tampaknya sudah jadi keputusan tetap.

Banyak pihak berteriak, masih banyak warga berumah kandang kambing. Akan tetapi, kita menyaksikan bagaimana tabiat para anggota DPR—juga kebanyakan pejabat eksekutif dan yudikatif— yang abai terhadap persoalan riil masyarakat.

Mereka bekerja atas dasar fakta di atas kertas, bukan realitas. Menatap rakyat dari jendela gedung tinggi sehingga tak pernah bisa berempati. Ini jika kita tidak mau mengatakan bahwa sebagian dari mereka buta dan tuli.

Jika mereka mengerti, sebenarnya rakyat bukan tidak setuju atas pembangunan gedung itu, melainkan karena keinginan itu njomplang dengan prestasi kerja. Selain itu—ini yang terpenting—dengan moralitas politik, sosial, dan budaya, mereka yang kian hari kian terdegradasi tentu tak patutlah membangun. Dengan kondisi mental yang sedang parah, jangan-jangan gedung hanya mengabadikan kesakitan mental itu.

Makna gedung

Dalam perspektif desain dan kebudayaan, sebuah gedung adalah ruang (bukan hanya ruangan) dan mengandung spirit di dalamnya. Bagi orang Timur macam kita, spirit itu sering berbasis mistik. Misalnya, kita masuk ke rumah kosong yang telah lama ditinggalkan penghuninya. Entah mengapa, bulu kuduk kita seperti tersugesti untuk berdiri dan lantas kita bergumam—setidaknya dalam hati—”rumah ini pasti ada apa-apanya”.

Terkait dengan hal itu, Marcel Danesi dalam Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in Semiotics and Communication Theory (2004) menjelaskan bahwa ruang dalam sebuah bangunan adalah bagian dari struktur naratif. Bangunan, yang umumnya merupakan kumpulan beberapa ruang, dapat diibaratkan sebagai kalimat yang mengisahkan bermacam cerita. Itu sebabnya seorang guide tidak pernah kehabisan cerita saat menjelaskan bangunan bersejarah.

Bahkan, ruang dalam rumah khalayak adalah juga kumpulan cerita. Ruang tamu, misalnya, mengingatkan kita pada bagaimana seorang tamu dipersilakan duduk sebelum kemudian pembantu menyuguhkan segelas air. Di situ, ruang meninggalkan jejak pengalaman tak terlupakan. Maka, sebagaimana dikatakan Massey dalam Barker (2005), ruang bukan sesuatu yang hampa, melainkan diproduksi secara kultural oleh hubungan sosial.

Jika demikian, kisah dan pengalaman apa yang akan tercatat pada gedung DPR jika tetap dibangun nanti?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com