Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inpres Masih Lemah

Kompas.com - 21/05/2011, 03:58 WIB

Jakarta, Kompas - Penerbitan Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang menandai moratorium hutan Indonesia dinilai merupakan legitimasi untuk penghancuran hutan sekunder.

Isi Inpres yang tertunda lima bulan itu dinilai tidak melindungi secara nyata masa depan hutan. Masih ada pengecualian dan hanya mengatur hutan primer yang tak luas lagi.

”Inpres justru menjadi legitimasi menghabisi hutan sekunder demi alasan ekonomi,” kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi, Jumat (20/5). Pemerintah seharusnya menyeleksi hutan-hutan sekunder yang masih berpotensi dipulihkan.

Greenomics Indonesia berharap Inpres direvisi untuk mencegah berlangsungnya deforestrasi di 36,6 juta lahan hutan sekunder yang masih baik.

Pendapat lain, ada berbagai potensi kebocoran pelaksanaan Inpres. Kebocoran tak semata- mata karena bupati, wali kota, atau menteri yang tak mengindahkan Inpres. Namun, dalam pelaksanaan di lapangan, sebenarnya sudah tak relevan karena nyaris tak ada lagi hutan primer.

Peta terlalu kecil

Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB Hariadi Kartodihardjo menilai, skala Peta Indikatif yang dilampirkan dalam Inpres terlalu kecil. Itu akan menyulitkan pelaksanaan dan pengawasan penetapan hutan alam primer, gambut, dan sekunder.

”Terkait perizinan, peta harus jelas. Paling tidak menggunakan peta 1:100.000,” kata dia. Adapun Peta Indikatif dalam Inpres berskala 1:19 juta.

Pada jumpa pers kemarin, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim Agus Purnomo mengatakan, Inpres dan peta lampirannya akan disebarluaskan ke seluruh instansi pemerintah dan pemerintah daerah. ”Peta ini menjadi satu-satunya yang digunakan dalam pengelolaan kehutanan. Meski demikian, peta ini bisa direvisi tiap enam bulan sekali jika ditemukan bukti ketidakcocokan,” kata dia.

Sehari sebelumnya, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Moch Jasin meminta agar disediakan peta baku berskala 1:25.000.

Hariadi menambahkan, yang terjadi di lapangan selama ini justru ”deforestasi tanpa rencana”. ”Yang dilakukan tanpa izin sudah terjadi dan ada banyak. Di daerah hampir tidak ada hutan alam dan gambut yang bebas dari ilegal logging dan yang tidak dimanfaatkan,” katanya.

Adapun dalam Inpres diasumsikan hutan alam dan lahan gambut benar-benar masih utuh. ”Sehingga izin (bisa) ditunda,” ujar Hariadi.

Menurut perhitungan Hariadi, yang ilegal dalam gambut dan hutan alam itu empat kali lipat dari yang legal. ”Berarti ini hanya berlaku untuk seperempatnya dan masih dikurangi izin prinsip yang sudah keluar, serta kebutuhan untuk pembangunan nasional yang bersifat vital,” katanya.

Izin baru

Tahun lalu ada persetujuan baru pinjam pakai tambang di Kalimantan Tengah, provinsi percontohan REDD+. Rinciannya, lima izin pada tahun 2010 dan satu izin pada 7 Maret 2011. Adapun izin prinsip ada tujuh (2010) dan enam izin pada 17 Januari, 2 Februari, 28 Februari, 1 Maret (masing-masing satu izin), serta dua izin pada 4 April tahun 2011. ”Itu izin di hutan produksi yang pasti mengonversi hutan alam, tetapi tidak teridentifikasi hutan primer atau gambut,” kata Hariadi.

Kepala Departemen Hubungan Internasional dan Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Teguh Surya memberi catatan mengenai Inpres tersebut.

Ada delapan catatan, di antaranya kebijakan berbentuk Inpres tak tepat karena persoalan moratorium menyangkut hajat hidup orang banyak. Idealnya berbentuk peraturan presiden yang berlaku umum dan mengikat secara hukum. Selain itu, istilah hutan alam primer tidak dikenal dalam hukum kedua negara, Indonesia dan Norwegia, sehingga Inpres itu bisa dikatakan cacat hukum.

Persoalan lain, dua kementerian, yaitu Kementerian Pertanian serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tidak memperoleh instruksi khusus dalam Inpres tersebut. Padahal, mereka punya kepentingan. Pelaksanaan Inpres tidak optimal.

Inpres juga menyebutkan moratorium dilakukan di hutan konservasi, hutan lindung, dan seterusnya yang memang harus dilindungi dan tak dikonversi. ”Efektivitas dan kemampuan Inpres menjalankan misi penyelamatan hutan alam diragukan karena hanya berlaku dua tahun,” kata Teguh. (ISW/ICH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com