Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjadi Komunitas ASEAN

Kompas.com - 07/05/2011, 04:19 WIB

Andi Suruji

Hari-hari ini, topik pembicaraan soal pembentukan Masyarakat ASEAN atau Komunitas ASEAN menjadi hangat sehubungan dengan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Jakarta. Berbagai upaya menuju terbentuknya Komunitas ASEAN pada 2015 sudah mencapai 60 persen. Sebanyak 40 persen sisanya bisa diselaraskan dalam waktu empat tahun yang masih tersisa.

Apa Komunitas ASEAN itu? Bukankah kita warga bangsa yang bernaung di bawah bendera Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) sudah secara otomatis menjadi Komunitas ASEAN begitu para kepala negara menandatangani terbentuknya ASEAN? Mengapa mesti ada lagi komunitas-komunitasan seperti itu?

Spirit utama Komunitas ASEAN tentulah hidup berdampingan secara harmonis sebagai suatu keluarga besar, bekerja sama, dan saling menguntungkan. Orang bisa bebas dengan mudah bepergian dan tinggal bekerja di suatu negara. Bukan hanya itu, perdagangan barang dan jasa, begitu pula arus modal, bakal semakin bebas tanpa hambatan mengalir dari suatu negara ke negara lain.

Karena itu, standar-standar kualitas manusia, yang, antara lain, diukur dari pendidikan, kesehatan, dan indikator kesejahteraan secara umum, juga harus sama. Standar-standar produksi barang dan jasa juga harus selaras. Standar pelayanan bisnis dan keimigrasian mesti seragam dan terintegrasi. Perekonomian pun terintegrasi. Pendeknya, kita akan menjadi manusia seragam dalam keberagaman, terintegrasi dalam suatu ikatan kekerabatan, perdagangan, dan investasi.

Semangat pembentukan Komunitas ASEAN tersebut secara tidak sengaja atau memang dirancang oleh para penggagasnya dahulu mirip-mirip dengan filosofi dasar negara Indonesia, Pancasila. Dalam lambang negara, Burung Garuda, tertera simbol-simbol lima sila Pancasila di dadanya, sedangkan kakinya menggenggam untaian kata-kata ”sakral” Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu).

Sayangnya, di tengah hiruk-pikuk kita sebagai anggota, bahkan sebagai pemimpin ASEAN, tuan rumah KTT yang membicarakan Komunitas ASEAN itu, justru mengemuka pemberitaan tentang dihapuskannya pendidikan Pancasila yang mengajarkan kesatuan dalam keberagaman latar belakang, Bhinneka Tunggal Ika, tersebut.

Sungguh, sebagai bangsa, kita sering kali menemukan ironi-ironi dalam diri kita sendiri. Untungnya, tidak ada satu pun negara atau bangsa yang dominan sebagai ”pemegang saham” ASEAN. Kalau ada, mungkin sebentar lagi akan ada pihak dari Indonesia yang mengklaim soal itu.

Ketika kita tidak merawat warisan budaya kita, lantas dikembangkan orang lain, dan diklaim oleh bangsa lain, kita pun marah-marah. Padahal, sekian lama kita tak meliriknya. Jangankan mengembangkan dan memodernkan warisan-warisan budaya itu, merawatnya saja mungkin sudah tidak.

Kadang-kadang menyedihkan melihat upaya kita merawat kesatuan dalam keberagaman kita sehingga sering kali tercabik-cabik oleh perbedaan pendapat, keyakinan, lalu melupakan kodrat kita sebagai manusia ciptaan dan hamba Tuhan. Konflik yang terjadi sampai menghilangkan nyawa orang lain, merusak harta benda, umumnya dipicu oleh munculnya rasa ketidakadilan.

Kini—persisnya empat tahun lagi—kita menuju suatu Komunitas ASEAN yang lebih kompleks hambatan dan tantangannya, jauh lebih kompleks dan rumit daripada sekadar mengelola keberagaman komunitas Indonesia.

Dalam hal integrasi dan komunitas ekonomi, misalnya, sungguh tidak ringan tantangannya. Ketimpangan antarnegara atau perekonomian sungguh sangat lebar. Penduduk Singapura paling kaya dengan pendapatan per kapita per tahun sebesar 52.872 dollar AS. Sementara Myanmar yang paling tidak kaya hanya mencatat pendapatan per kapita per tahun 1.138 dollar AS.

Secara rata-rata pendapatan per kapita per tahun penduduk ASEAN berada pada level 4.873 dollar AS. Indonesia saja yang penduduknya tercatat memiliki pendapatan per kapita per tahun sebesar 4.371 dollar AS—posisi kelima setelah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand—masih di bawah angka rata-rata ASEAN tersebut.

Nah, menyetarakan daya beli, setidaknya memperkecil kesenjangan antara negara terkaya dan paling tidak kaya itu saja sudah memerlukan perhatian serius dan kerja keras. Jika kesenjangan itu justru kian melebar, berarti spirit pembentukan Komunitas ASEAN gagal. Apalagi potensi semakin melebarnya kesenjangan itu juga ada lantaran dasar beranjaknya memang sudah berbeda-beda.

Hendaknya pembentukan Komunitas ASEAN tidak salah urus sehingga tidak memicu ketidakadilan baru yang berpotensi menimbulkan ketegangan dan konflik baru di kawasan ini. Saat ini saja sudah muncul rasa-perasaan tidak senang melihat dominasi suatu negara di bidang ekonomi, seperti di perkebunan, perbankan, dan telekomunikasi.

Hendaknya pula pembentukan Komunitas ASEAN itu tidak menimbulkan kecurigaan bagi mereka yang selama ini terpinggirkan secara alamiah atau karena regulasi bahwa pembentukan komunitas itu tidak lain dari agenda mereka yang sudah terbatas sumber dayanya untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada di negara lain.

Memang integrasi ekonomi dan pembentukan komunitas ekonomi ASEAN bukan melulu tantangan. Di sana ada pula peluang besar yang terbentang luas untuk diraih.

Bagi Indonesia, misalnya, bagaimana pemerintah mesti meyakinkan masyarakat akan hal itu. Jauh lebih penting dari itu, bagaimana Indonesia dengan penduduk terbesar dan sumber daya alam terkaya di kawasan ini menyiapkan masyarakat untuk menjadi pemain dengan kekuatan seimbang dalam integrasi ekonomi, satu pasar dan satu Komunitas ASEAN, bukan sebaliknya, menjadi pecundang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com