Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Radikalisme Menyelinap di Bumi Moderasi

Kompas.com - 04/05/2011, 02:34 WIB

Sembilan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang diduga diculik oleh gerombolan yang bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia. Mereka dicuci otak untuk kemudian diindoktrinasi ideologi NII. Mereka juga menjalani baiat atau sumpah kesetiaan.

Memang ada yang meragukan bahwa yang menculik itu jaringan NII. Seperti kata Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Malang Mursidi, hal tersebut hanya kegiatan mencari uang yang berkedok doktrin agama. Dosen UMM, Zakaria Ahmad, juga melihat perkara ini semata-mata penipuan. Tidak terkait dengan terorisme atau jaringan NII.

Namun, sekilas melihat model perekrutan, indoktrinasi, dan baiat adalah juga tidak bisa dinafikan begitu saja. Itu elemen terorisme. Korban disuruh menipu orangtuanya, seperti yang dialami korban asal Gresik, Agung Arief Perdana Putra. Hal itu adalah tes untuk mengukur seberapa dalam hasil indoktrinasi ideologi. Ukuran puncak sukses indoktrinasi kaderisasi adalah apabila sudah berani melawan orangtua atau berpisah.

Lihat saja, pelaku bom Masjid Adz-Dzikro, kompleks Markas Polresta Cirebon, Muhammad Syarif. Ia juga diketahui berani terhadap orangtuanya. Secara psikologis, kecintaan anak kepada orangtua sangat kuat. Kalau hal ini sudah bisa diberangus, anak itu sudah ”sah” menjadi warga jaringan teroris.

Mahasiswa di Malang menjadi sasaran perekrutan jaringan teroris bukanlah hal baru. Beberapa mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, seperti Fathul Wiyoto dan Muhammad Akhwan, direkrut jaringan terorisme tahun 1980-an. Yahya, mahasiswa Universitas Negeri Malang (UNM), direkrut gembong teroris asal Malaysia, Dr Azahari. Munfiatun, mahasiswa Universitas Brawijaya asal Pasuruan (Jawa Timur), dinikahi gembong teroris Noordin M Top.

Dengan asumsi penculik sembilan mahasiswa ini adalah jaringan teroris menunjukkan, Jatim tidak pernah sepi sebagai kawasan persemaian kader terorisme atau operasionalnya.

Itu paling tidak bisa dilihat sejak zaman Orde Baru. Tahun 1978 Warman, gerombolan Komando Jihad, melakukan perampokan di IKIP Malang. Pada malam Natal tahun 1984, jaringan teroris Ahmad Muladawilah meledakkan bom di Gereja Katolik Kayutangan dan Sekolah Alkitab di Kota Malang. Sekitar setahun kemudian bom meledak di bus malam Pemudi jurusan Malang-Bali. Bom itu rencananya akan diledakkan di Bali. Peledakan bom di Candi Borobudur juga dikendalikan kelompok Husein Al Habsyi di Malang.

Pada tahun 1970-an beberapa warga Pondok Pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran, Kabupaten Magetan, juga ditangkap karena terkait dengan gerakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dikategorikan terorisme.

Pada zaman reformasi lebih marak lagi. Teroris meledakkan bom di gereja di Mojokerto pada malam Natal tahun 2000. Amrozi dan kawan-kawan, pelaku bom Bali yang divonis mati, adalah warga Tenggulun, Kabupaten Lamongan. Abu Bakar Ba’asyir yang sering disebut berkaitan dengan terorisme juga berasal dari Jombang walau lebih dikenal sebagai warga Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Pentolan teroris asal Malaysia, Dr Azahari, tewas ditembak Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri di Songgoriti, Malang. Ia diduga menjalankan komando operasi dari tempat tersebut.

Moderasi

Sosiolog dari Universitas Airlangga, Surabaya, Hotman M Siahaan, melihat pertumbuhan radikalisme yang menjadi akar terorisme memanfaatkan kecenderungan moderasi keberagamaan di Jatim. ”Mayoritas warga Muslim Jatim adalah Nahdlatul Ulama (NU) yang bersikap moderat, toleran terhadap perbedaan. Ketika di sekitarnya ada yang nyeleneh, dipandang sebagai perbedaan yang harus diterima. Dampaknya kontrol masyarakat terhadap gerombolan terorisme justru lemah,” tutur Hotman M Siahaan.

Di samping itu, kata Hotman, radikalisme juga bisa dipicu dari kekecewaan serta protes terhadap tokoh dan nilai lama yang dianggap tidak lagi bisa menampung aspirasi baru. Mereka keluar dari patron lama, seperti kiai. Hotman mencontohkan, sikap kiai yang partisan secara pragmatis melahirkan gelombang protes secara diam-diam. Kekecewaan, protes, lepasnya seseorang dari patron atau panutannya menjadi sasaran empuk persemaian kader oleh jaringan terorisme.

Rektor UMM Muhajir Effendy, yang 10 mahasiswanya jadi korban perekrutan jaringan NII, mengatakan, aparat penegakan hukum semestinya bisa bertindak pre-emptive strike, dalam keadaan warga negara mengalami ancaman yang nyata sebagaimana perekrutan NII yang menelan korban materi ini.

Menurut Muhajir, hukum pidana lemah karena harus menunggu laporan korban untuk bertindak. Di UMM saja, dari delapan mahasiswa yang diungkap dan mengaku, sudah muncul kerugian senilai Rp 100 juta lebih. Padahal, diyakini aksi sejenis dilakukan bertahun-tahun di semua kota dan komunitas mahasiswa.

Korban perekrutan NII akan cenderung bersikap diam dan bungkam meski kemudian keluar dari organisasi itu. Mereka menghadapi perasaan takut dari atas dan bawah. Di atas mereka diancam bunuh dan di bawah mereka sudah merugikan lingkungan sosialnya yang diminta atau ditipu uangnya. Jadi korban memilih sikap diam saja jika kembali ke lingkungannya. ”Ini kunci metode ini sehingga korban yang tertekan ini pilih diam saja,” ungkap Muhajir lagi. (Anwar Hudijono/Dody Wisnu Pribadi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com