Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Biarkan Radikalisme

Kompas.com - 29/04/2011, 02:25 WIB

Jakarta, Kompas - Bangsa Indonesia saat ini menghadapi ancaman serius terkait dengan terorisme, kekerasan horizontal, dan radikalisasi yang terus terjadi di sejumlah tempat. Jika tak ditanggulangi secara serius, kondisi ini bisa berdampak pada harmoni kehidupan bangsa ke depan.

Peringatan itu disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan semua menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, gubernur, dan bupati/wali kota di seluruh Indonesia yang menghadiri Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Jakarta, Kamis (28/4).

”Rasa aman masyarakat terancam. Jangan dibiarkan. Semua bertanggung jawab dan bertugas menanggulangi ancaman itu,” katanya.

Presiden mengajak semua jajaran pemerintahan melakukan pencegahan sedini mungkin untuk menanggulangi ancaman terorisme, kekerasan horizontal, dan radikalisme itu. Masalah ini tak mungkin ditangani polisi dan penegak hukum semata. ”Saya berharap ancaman ini ditanggulangi secara serius,” ungkapnya.

Di sisi lain Presiden melihat adanya gerakan radikalisasi bermotif agama dan ideologi. Jika dibiarkan, radikalisasi ini dapat mengancam karakter dan perilaku rakyat. ”Kantong-kantong elemen masyarakat, bahkan generasi muda, dibikin radikal, menyukai kekerasan dan melawan hukum. Dalam jangka panjang, jika dibiarkan, ini akan mengubah karakter bangsa Indonesia yang sejatinya toleran, mencintai kerukunan, dan suka ketenteraman,” katanya.

Berbagai kesaksian dan investigasi, kata Presiden, menunjukkan ada sebagian generasi muda yang dijadikan sasaran dan akhirnya menjadi korban dari gerakan radikalisasi itu. Jika radikalisasi itu berkaitan dengan agama, menodai dan merusak ajaran agama, pemuka agama diharapkan berperan secara aktif melakukan pelurusan. Hal ini penting agar rakyat dan umat menjalankan ajaran agamanya dengan benar.

Jika radikalisasi itu berkaitan dengan ideologi yang mengancam empat pilar kehidupan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika, lanjut Presiden, semua elemen bangsa bertanggung jawab, memiliki kewajiban, dan mesti mengemban tugas bersama untuk menghentikannya. ”Kita tak boleh apatis, pasif, dan membiarkan begitu saja,” ujarnya.

Kantong di sekitar Jakarta

Di Tangerang, Rabu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar menegaskan, sejauh ini tidak pernah ada deklarasi organisasi Negara Islam Indonesia (NII). NII diduga menjaring kaum muda untuk menjadi warganya. NII juga diduga melakukan gerakan radikalisasi. Pemerintah tak mengizinkan berdirinya NII.

Di Jakarta, Kamis, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Baharudin Djafar mengakui, daerah penyangga Jakarta, seperti Tangerang, Depok, Bekasi, dan sebagian Jakarta Selatan, diduga menjadi lahan subur penyebaran pengaruh NII. Hal itu disebabkan warga di daerah itu relatif mudah dipengaruhi dan tidak sesibuk warga Jakarta.

Pemetaan daerah subur penyebaran NII itu berdasarkan penelitian intelijen Polda Metro Jaya. ”Secara spesifik kantongnya belum bisa dibuktikan. Sebab, tak ada laporan orang yang dirugikan oleh NII yang masuk ke Polda Metro Jaya tahun ini,” ujarnya. Polisi pun hanya bisa menggelar tindakan preventif, misalnya penyuluhan. Tindakan represi berupa penangkapan, penyitaan, dan penggeledahan harus menunggu laporan dari orang yang merasa dirugikan NII.

Kendati demikian, Polri berupaya mengantisipasi dengan memantau lokasi potensial, seperti kampus dan daerah indekos yang banyak dihuni mahasiswa. Ini karena penyebaran pengaruh NII diawali dengan diskusi sebelum akhirnya sampai ke indoktrinasi.

Komandan Korem 064/Maulana Yusuf, Banten, Kolonel (Inf) Joko Warsito, Kamis di Serang, mengatakan, masalah NII adalah masalah lama. TNI memonitor data dan pergerakan mereka. Ditanya mengenai aktivis NII di Banten, ia mengatakan, anggotanya mencapai ribuan orang.

Dari Yogyakarta, Kepala Polda DI Yogyakarta Brigadir Jenderal (Pol) Ondang Sutarsa menambahkan, tahun 2008 di Yogyakarta terdapat 31 mahasiswa dan seorang siswa yang yang direkrut jaringan NII. Korban tersebar di 10 perguruan tinggi dan satu sekolah menengah atas. ”Kemungkinan ada perkembangan jumlah korban,” katanya.

Kepala Polda Jawa Timur Inspektur Jenderal Untung Suharsono Radjab menyatakan, pihaknya akan menangani tindak pidana penipuan yang membuat puluhan mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi di Jatim menjadi korban. Ia menyampaikan hal itu seusai bertemu dengan delapan korban cuci otak yang berstatus mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, Kamis. Kasus itu terkait jaringan NII.

Masih dari Jatim, Kepala Polres Jombang Ajun Komisaris Besar Marjuki, Kamis, menegaskan, polisi belum menentukan tersangka kasus cuci otak yang diduga dilakukan jaringan NII terhadap empat pelajar di kabupaten itu. Jika dalam pengembangan penyelidikan ditemukan unsur pemaksaan, kasusnya akan dipidanakan. Korban cuci otak itu adalah siswa sebuah sekolah lanjutan atas negeri di Jombang, yakni AA, MM, AE, dan HW.

Butuh dukungan politis

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai di Jakarta, kemarin, menilai, dukungan politis dari lembaga legislatif terhadap upaya pemberantasan terorisme dan radikalisme masih lemah. DPR seharusnya segera merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme sehingga upaya pencegahan dan pemberantasan gerakan radikal dan terorisme dapat lebih maksimal.

(fer/gre/abk/ano/iam/gal/cas/pin/why)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com