Dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota hasil pemekaran sepanjang periode 1999-2009, hanya dua daerah yang mendapat nilai total di atas 60 dari nilai tertinggi 100. Kedua daerah itu adalah Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dengan nilai total 64,61 dan Kota Cimahi, Jawa Barat, dengan nilai 60,43.
Bahkan, banyak daerah yang mendapatkan nilai minimal untuk kategori-kategori tertentu. Kabupaten Toraja Utara (Sulawesi Selatan), Tulang Bawang Barat (Lampung), Yalimo (Papua), Kepulauan Aru (Maluku), Gorontalo Utara (Gorontalo), Kepulauan Meranti (Riau), Morotai (Maluku Utara), Mesuji (Lampung), Sigi (Sulawesi Tengah), dan Maluku Barat Daya (Maluku) mendapat nol untuk indikator daya saing. Kabupaten Deiyai (Papua) mendapat nilai kosong untuk indikator kesejahteraan rakyat. Kabupaten Puncak Jaya dan Paniai di Papua memperoleh nilai kosong untuk indikator kesejahteraan masyarakat, pemerintahan, dan daya saing.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Selasa (26/4) di Jakarta, mengatakan, nilai rendah wajar karena banyak daerah pemekaran berusia 0-3 tahun. Daerah ini masih berusaha menyusun organisasi, pola kerja, dan memenuhi sumber daya manusia.
Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan, dari 205 daerah otonom baru, 57 daerah di antaranya berusia 0-3 tahun.
Nilai nol yang diperoleh, menurut Gamawan Fauzi, disebabkan daerah-daerah tersebut tidak melaporkan apa pun untuk kategori-kategori itu.
Hal ini, menurut Guru Besar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasojo, karena pembentukan daerah otonom baru diwarnai kepentingan elite dan bukan kepentingan membangun daerah. Oleh karena itu, pemekaran daerah hanya menjadi lapangan kerja baru untuk kader partai politik di DPRD dan ladang perebutan jabatan birokrasi. Sementara itu, sumber daya untuk membangun daerah dan menyejahterakan rakyat umumnya tidak dimiliki.
”Banyak proses yang berada di ruang gelap, tidak heran kalau mayoritas gagal,” kata Eko.
Pemekaran daerah, menurut peneliti utama LIPI, Siti Zuhro, memang hanya membebani rakyat dan APBN. Itu karena terjadi stagnasi pembangunan di daerah baru. Pemilihan kepala daerah langsung hanya memarakkan politik uang dan hasilnya tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Stagnasi ini, lanjut Siti Zuhro, disebabkan tidak adanya pengawasan sungguh-sungguh dari pemerintah pusat. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah yang ada pun mandul. Oleh karena itu, moratorium harus diberlakukan sampai desain penataan daerah dan perbaikan pelaksanaan otonomi daerah berlangsung.