Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terorisme Jalan Baru Menghadapi Keputusasaan

Kompas.com - 25/04/2011, 03:04 WIB

Rene L Pattiradjawane

Rencana serangan terduga teroris, pekan lalu, dengan ditemukannya bom waktu dalam jumlah besar di jaringan pipa gas di kawasan Serpong, Tangerang, memberikan sebuah pertanyaan besar. Apakah kini muncul ancaman kelompok teroris baru yang sama sekali tidak dikenal dalam strata kelompok teroris yang dikenal selama ini?

Rangkaian mulai dari ancaman bom buku, aksi teror tunggal bunuh diri di Cirebon, dan rencana meledakkan pipa gas menunjukkan ada gelombang baru terorisme di Indonesia. Ini merupakan campuran antara persoalan politik domestik dan rangkaian garis fanatisme kepercayaan untuk memecah kondisi Indonesia mempertahankan laju pertumbuhan ekonominya.

Sekali lagi, kita memberikan hormat dan pujian kepada Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri, yang secara cepat dan cerdas menelisik dan menangkap pelaku terorisme yang kejam dan keji menghilangkan nyawa orang yang tidak bersalah atas nama apa pun yang dipercayai mereka.

Pada saat yang bersamaan kita pun menjadi khawatir dengan serangkaian rencana aksi terorisme. Walaupun tidak sempat menjadi peristiwa mengerikan, dalam skala holocaust seperti bom Bali 2002, aksi itu memiliki ragam jenis kreativitas teror yang sama sekali baru. Dan, yang baru, adalah sebuah imajinasi kengerian meledakkan jaringan pipa gas dan keterlibatan personel yang berbeda dengan kelompok teroris sebelumnya, menghadirkan kelompok profesional sebagai aktor. Untunglah, aksi tersebut dapat digagalkan.

Keseimbangan sosial

Polri sampai saat ini, ataupun aparatur intelijen negara, yang berhasil menangkap belasan tersangka pelaku yang beragam strata sosial dan profesi ini masih belum bisa menjelaskan apa, siapa, dan mau apa kelompok teroris. Juga belum jelas apakah bom bunuh diri di Cirebon merupakan serangkaian aksi yang terkait satu sama lain.

Kita memahami ada pergeseran tahapan aksi, motivasi, sasaran, dan pelaku terorisme di tengah perkembangan dan pertumbuhan bangsa kita dalam arus deras globalisasi ini. Ketika Samuel Huntington berbicara dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order (Simon & Schuster, 1996) tentang bentrokan peradaban mendominasi politik global, aksi terorisme pasca-serangan udara teroris terhadap Washington dan New York memicu teori Huntington.

Namun, dalam perkembangannya, Huntington yang hanya melihat terjadinya bentrokan antar-peradaban sebagai konsekuensi persaingan membentuk gravitasi baru kebijakan dunia lebih fokus pada mengasah kekuatan ekonomi dan politik yang harus dihadapi negara-negara Barat.

Dunia baru dalam persepsi Huntington menghadirkan kekuatan baru ekonomi politik yang disebut Asiatic Affirmation dan Islamic Resurgence yang berhadapan dengan negara Barat dalam sebuah kekuatan kombinasi untuk menghadirkan tatanan baru. Yang tidak dilihatnya adalah bentrokan antar-peradaban hanya merupakan bagian saja dari keseluruhan persoalan globalisasi.

Dinamika masyarakat dunia untuk memordenisasi ternyata menghadirkan tidak memadainya substansi ekonomi ataupun tidak ditemukannya keseimbangan sosial internal yang menghasilkan ketidakadilan yang tidak tertahankan. Ini fenomena yang kita lihat terjadi di Timur Tengah dari Libya sampai Suriah, sebuah proses bentrokan di dalam peradaban merusak dan menghancurkan sendi-sendi apa pun yang dianut kekuasaan di sana.

Keputusasaan

Kita mencoba menempatkan perspektif bentrokan di dalam peradaban sendiri dalam persoalan kebangkitan terorisme gaya baru di Indonesia sebagai manifestasi apa yang disebut sebagai paideuma atau roh kebudayaan yang mengalami kerusakan sendi-sendi organik yang mencoba menggapai apa yang disebut oleh etnolog Jerman, Leo Viktor Frobenius, sebagai kemapanan kerangka kerja peradaban.

Indonesia modern dan demokratis sekarang bergerak menuju kulturalisasi berbagai kebijakan ataupun politikalisasi kebudayaan yang memang dipersiapkan untuk bentrokan politik di dalam. Ini yang menjelaskan, misalnya, kebingungan di berbagai aspek kehidupan, baik untuk memperoleh pendidikan, menaikkan mobilitas, memperoleh posisi berkualifikasi, pada status, pada pendapatan, ataupun partisipasi politik.

Ini juga yang menjelaskan kerancuan dan kebingungan ketika Partai Golkar mengirim kadernya untuk belajar soal kaderisasi dan organisasi ke Partai Komunis China (PKC) dengan menihilkan legitimasi sejarah partai ini dibentuk untuk melawan komunisme menjelang berdirinya Orde Baru pada pertengahan dekade 1960-an.

Kepercayaan atas nama apa pun akhirnya memperoleh momentum dan menjadi rallying point, sebagai sumber penyebab keputusasaan ketika melihat janji-janji perspektif kehidupan tidak muncul setelah reformasi Indonesia. Di tengah multikultural sebagai roh Indonesia di tengah derasnya arus globalisasi yang multipolar, terorisme menjadi sebuah derivatif untuk menghadirkan berbagai sumber konflik.

Ketika individualisme dan pluralisme bergerak terlalu lambat dalam membentuk demokrasi Indonesia dengan tatanan fundamental yang tidak kuat, terorisme menjadi alat dan pembenaran aksi kelompok teroris bom buku dan pipa gas. Lingkup aktivitasnya bertujuan mencari status dan membenarkan logika sendiri sehingga memicu bentrokan di dalam peradaban yang mencoba menuai kekacauan lingkup ekonomi, kekacauan harga yang didikte pasar, atau kekacauan atas kepemilikan swasta untuk membangun keuntungan komparatif mencari jalan baru atas nama kepercayaan apa pun yang dipilih.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com