Cirebon, KOMPAS
”Termasuk polisi,” kata Peneliti Senior Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada, Eric Hiariej, di Yogyakarta, Rabu (20/4).
Sidney Jones dari International Crisis Group juga melihat terorisme berangsur-angsur berubah dari kelompok besar menjadi kelompok lebih kecil, bahkan perseorangan. Perubahan itu antara karena efektifnya penangkapan anggota kelompok besar, seperti Jemaah Islamiyah. Juga dipicu makin mudahnya memperoleh bahan-bahan, seperti buku yang dapat mendorong aksi terorisme.
Hampir senada, aktivis dakwah di Cirebon, Dede Muharram, melihat motif bom bunuh diri oleh Muhammad Syarif bersifat lokal. Ia menduga Syarif sebagai anggota kelompok yang frustrasi dengan lambannya tindakan polisi mengatasi persoalan di masyarakat yang dinilainya sebagai kerusakan moral.
Menurut Dede, Syarif selama ini aktif menentang minuman keras yang diperjualbelikan secara bebas.
Tindakan nekat Syarif juga dipicu oleh keterdesakan secara ekonomi. ”Ia kesulitan uang menghadapi kelahiran anaknya, sementara polisi mengejarnya karena sejumlah kasus kriminalitas,” ujar Dede.
Secara terpisah, Abdul Gofur (66), ayah Syarif, sangat yakin bahwa Syarif dan Basuki berada dalam satu kelompok, atau mempunyai ideologi yang sama. Kedua anaknya itu diketahui mulai berubah pandangan tentang agama sejak 2009. Mereka bahkan menentang keluarga sendiri karena perbedaan pandangan agama itu.
Dalam penggeledahan di rumah Basuki yang adalah adik kandung Syarif, polisi menyita sejumlah barang bukti.
Menurut Gofur, saat Syarif menikah, Agustus 2010, Basuki datang bersama 15 temannya. ”Semua memakai jubah warna hitam,”katanya.