Reza Syawawi
Namun, hal ini tak mengubah sikap DPR sama sekali. Rapat konsultasi pimpinan DPR dan pimpinan fraksi akhirnya memutuskan untuk tetap melanjutkan pembangunan (
Di internal DPR, pembangunan gedung baru hanya menuai penolakan dari beberapa fraksi, yakni Gerindra dan PAN. Kedua fraksi ini menolak karena pembangunan tak memiliki urgensi jelas. Di pihak yang lain, fraksi PDI-P, yang awalnya menolak pembangunan gedung DPR, tiba-tiba berubah haluan dalam rapat konsultasi.
Aroma busuk persekongkolan makin tercium oleh publik. Benarkah DPR telah berubah menjadi ”segerombolan” manusia yang tidak beradab?
Jika ditelisik ke belakang, tampak jelas permainan di tingkat elite untuk memuluskan pembangunan gedung baru. Tak tanggung-tanggung, baik Sekretaris Jenderal DPR, pimpinan DPR, maupun pimpinan beberapa fraksi rela ”pasang badan”.
Persekongkolan ini sangat mudah terlacak dari adanya upaya mengarahkan agar polemik pembangunan gedung DPR diputuskan hanya melalui forum rapat konsultasi terbatas. Terbatas hanya pada pimpinan DPR dan pimpinan fraksi. Ini menyalahi prosedur pengambilan keputusan yang seharusnya mengakomodasi suara semua anggota DPR. Pasal 84 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) seyogianya hanya memberikan tugas kepada pimpinan DPR sebatas memfasilitasi anggota DPR, bukan pada tataran mewakili anggota DPR dalam pengambilan keputusan yang sifatnya strategis. Penyederhanaan pengambilan keputusan ini merupakan pelanggaran UU MD3 oleh jajaran pimpinan DPR.
Keterlibatan fraksi dalam pengambilan keputusan semacam ini juga bentuk ”pembungkaman” parpol terhadap anggotanya. Padahal, fraksi hanyalah perwakilan parpol dan bukan merepresentasikan anggota DPR sebagai wakil rakyat (Pasal 11 Ayat 1 UU MD3). Jika ini yang terjadi, parpol justru jadi bagian dari ”persekongkolan” untuk memuluskan pembangunan gedung. Hal ini makin mengukuhkan bahwa parpol telah keluar dari demarkasi sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat.