Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Program Nuklir Harus Propublik

Kompas.com - 30/03/2011, 20:40 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah saat ini sedang memutakhirkan Peraturan Presiden No 05/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Pembahasan rancangan dan rumusannya tengah dilakukan oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Pemanfaatan tenaga nuklir sebagai PLTN merupakan salah satu program yang menjadi pembahasan dalam pemutakhiran KEN.

"Perkembangan PLTN di dunia, termasuk kejadian di Jepang, menjadi pelajaran penting untuk Indonesia. Program PLTN dibiayai oleh dana publik, maka kita harus menempatkan kepentingan publik pada prioritas tinggi," kata Mukhtasor, anggota DEN dari Unsur Pemangku Kepentingan/Pakar Lingkungan Hidup, dalam siaran pers, Rabu (30/3/2011) di Jakarta.  

Penyiapan infrastruktur PLTN, mulai dari penyiapan SDM, penelitian dan pengembangan, penyiapan kelembagaan, sampai dengan studi kelayakan dibiayai pemerintah dengan dana publik dari APBN. Padahal, pembangunan dan pengoperasian PLTN secara komersial menurut UU Ketenaganukliran dilaksanakan oleh BUMN, koperasi, dan atau badan swasta.   

Untuk lebih propublik, menurut Guru Besar ITS ini, ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu aspek keselamatan dan lingkungan, aspek partisipasi publik, dan aspek subsidi oleh publik. Sesungguhnya publik telah memberi subsidi besar terhadap program PLTN.

"Sangat penting bahwa program PLTN perlu melibatkan partisipasi publik lebih besar, terutama aspek keselamatan dan penilaian kelayakan teknologi dan lokasi PLTN," kata Mukhtasor.

Menurut pria yang kini juga Executive Director ICEES (Indonesian Center for Energy and Environmental Studies) ini, partisipasi publik tersebut diperlukan terutama dalam studi kelayakan pembangunan PLTN dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan.   

Pemerintah, dalam hal ini BATAN, perlu melibatkan lebih banyak ahli yang representatif dan obyektif di bidang sosial, keselamatan, bencana, dan lingkungan hidup. "Jangan sampai terulang kejadian di Jepang di mana keakuratan dan keterbukaan informasi nuklir masih menjadi persoalan antara pemerintah dan operator PLTN," ujarnya.    

"Layak ataupun tidak pembangunan PLTN di Indonesia nantinya, kita semua harus berbesar hati. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Jangan ada kepentingan lain yang tidak relevan, termasuk kepentingan yang lebih berpihak pada keuntungan bisnis daripada publik," kata dia.

Di sisi lain, standar kelayakan PLTN juga perlu ditingkatkan dengan memerhatikan keandalan teknologi PLTN dan kerawanan bencana di Indonesia. Ketentuan perizinan reaktor diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43/2006.   

Berdasarkan aturan itu (Pasal 4), reaktor nuklir komersial yang telah beroperasi 3 (tiga) tahun secara selamat dengan faktor kapasitas rerata minimal 75 persen digolongkan sebagai teknologi teruji. Karena itu ia dapat diberikan izin dibangun di Indonesia. Kecelakaan PLTN Jepang terjadi justru pada akhir umur desainnya, kata dia.   

Bandingkan dengan kasus energi terbarukan. Dunia internasional saat ini telah berpengalaman mengoperasikan dengan sukses pembangkit listrik arus laut lebih dari tiga tahun, dengan potensi bahaya minimal dan harga yang lebih murah daripada pembangkit berbahan bakar minyak. "Itu saja masih tidak mudah masuk dan diterima di Indonesia. Ukuran teknologi teruji dalam pembangunan PLTN harus memberi jaminan keselam atan jauh lebih tinggi," ujarnya.   

"Dalam hal biaya PLTN, ada beban biaya tersembunyi yang harus ditanggung publik. Di samping dana APBN untuk penyiapan infrastruktur dan studi kelayakan PLTN, ada konsekuensi biaya yang tidak tampak, tapi ditanggung publik," imbuhnya.  

Menurut UU Ketenaganukliran, pengusaha instalasi nuklir tidak bertanggung jawab terhadap kerugian nuklir yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang terjadi karena bencana alam dengan tingkat luar biasa yang melampaui rancangan persayaratan keselamatan yang ditetapkan BAPETEN.

"Jadi seumpama kasus Jepang ini terjadi di Indonesia, kerugian kecelakaan nuklir ini akan ditanggung dana publik. Ini kurang mencerminkan istilah harga energi berdasar prinsip keekonomian berkeadilan yang diatur dalam Undang-undang Energi," ujar Mukhtasor. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Nasional
Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Nasional
Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Nasional
JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang 'Toxic'

JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang "Toxic"

Nasional
Tanggapi Luhut soal Orang 'Toxic', Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Tanggapi Luhut soal Orang "Toxic", Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Nasional
Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Nasional
Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim 'Red Notice' ke Interpol

Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim "Red Notice" ke Interpol

Nasional
Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Nasional
Anggap 'Presidential Club' Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Anggap "Presidential Club" Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Nasional
Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Nasional
Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Nasional
KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat 'Presidential Club'

Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat "Presidential Club"

Nasional
'Presidential Club' Prabowo Diprediksi Jadi Ajang Dialog dan Nostalgia

"Presidential Club" Prabowo Diprediksi Jadi Ajang Dialog dan Nostalgia

Nasional
Gus Muhdlor Kenakan Rompi Oranye 'Tahanan KPK' Usai Diperiksa 7 Jam, Tangan Diborgol

Gus Muhdlor Kenakan Rompi Oranye "Tahanan KPK" Usai Diperiksa 7 Jam, Tangan Diborgol

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com