Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anomali RUU Tipikor

Kompas.com - 30/03/2011, 03:14 WIB

Lemahnya RUU ini juga terlihat dari ”raibnya” Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor yang selama ini tergolong senjata ampuh bagi aparat penegak hukum untuk menjerat koruptor. Pasal ini dilebur. Padahal, sebagai catatan, tahun 2010 Komisi Pemberantasan Korupsi menjerat setidaknya 42 tersangka korupsi dengan pasal tentang ”kerugian keuangan negara” ini, tertinggi kedua setelah pasal-pasal suap yang menjerat 188 tersangka.

Tampaknya ada misinterpretasi dari penyusun RUU yang mengatakan bahwa Konvensi PBB Melawan Korupsi tidak lagi menganut prinsip menyangkut kerugian keuangan negara sehingga RUU Pemberantasan Tipikor tidak perlu mengatur penyelamatan negara dari kerugian.

Misinterpretasi ini tentu akan merugikan pemberantasan korupsi di Indonesia, yang sebagian besar masih menekankan perampokan aset negara atau keuangan negara meski memang pada satu sisi ”jantung” korupsi mulai beralih pada pembajakan fungsi negara untuk kepentingan politik sesaat, kepentingan bisnis, dan persilangan kepentingan keduanya.

Bisa suburkan korupsi

Selain mengandung ancaman hukuman yang menurun dan pasal-pasal inti yang dilebur, RUU ini juga sangat berpotensi menyuburkan praktik korupsi di lingkungan kaum tanpa dasi dan korupsi kecil-kecilan yang marak terjadi di sektor pelayanan publik. Mengapa? Karena ada pasal kompromistis: korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp 25 juta bisa dilepas dari penuntutan hukum.

Dalam klausul itu memang disebutkan bahwa pelepasan dari penuntutan hanya dilakukan setelah uang dikembalikan dan pelaku mengaku bersalah.

Namun, itu tidak bisa dijadikan sebagai alasan pemaaf. Apalagi, sesungguhnya kita semua tahu bahwa kembalinya uang negara tidak menghapus dipidananya seseorang.

Dengan segala kelemahan yang ada, cita-cita menguatkan agenda pemberantasan korupsi melalui revisi UU Pemberantasan Tipikor yang mengacu pada Konvensi PBB Melawan Korupsi hanyalah ilusi belaka. Yang terjadi justru bisa sebaliknya.

Harus dicatat bahwa keinginan merevisi dilakukan saat kondisi politik tidak kondusif. Saat ini DPR tidak kunjung menunjukkan kepekaan mereka terhadap pemberantasan korupsi. Yang terjadi, justru banyak wakil rakyat yang tersandung kasus korupsi belakangan ini.

Kalau mau serius memberantas korupsi, janganlah utak-atik barang yang sudah baik. Yang seharusnya dilakukan saat ini adalah menuntaskan berbagai persoalan hukum yang berlarut-larut dan bikin jengah. Itu saja sudah cukup.

Donal Fariz Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch Divisi Hukum dan Pemantauan Peradilan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com