Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RUU Tipikor Dinilai Kompromistis

Kompas.com - 28/03/2011, 05:13 WIB

Jakarta, Kompas - Draf revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi versi pemerintah dinilai lemah dan kompromistis pada korupsi. Rancangan itu dinilai justru menjadi ancaman dalam upaya pemberantasan korupsi.

”Alih-alih memperkuat, kami mengkhawatirkan revisi itu justru akan kian melemahkan pemberantasan korupsi,” kata Donal Fariz, peneliti Indonesia Corruption Watch, dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu (27/3). ICW menolak draf revisi UU Tipikor itu, terutama poin-poin yang menunjukkan paradigma kompromistis dan ketidakkonsistenan dalam pemberantasan korupsi.

Draf revisi UU terhadap UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu menghilangkan aspek extraordinary dalam penanganan korupsi. ICW menilai, ada sembilan kelemahan dalam draf atau RUU yang kini masih di tangan pemerintah itu.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Febri Diansyah menjelaskan, sembilan poin kelemahan dalam draf revisi UU Tipikor itu yang pertama adalah hilangnya ancaman hukuman mati. ”Ini bukan soal setuju atau tidak setuju hukuman mati karena memang ada perdebatan soal ini terkait HAM, tetapi poinnya adalah hilangnya sifat extraordinary dari UU ini,” kata Febri.

Poin kelemahan lain lagi yang ada dalam draf itu adalah dihilangkannya ancaman hukuman minimal. Ketentuan tentang ancaman hukuman minimal itu adalah ciri lain dari sifat luarbiasa dalam penanganan korupsi di Indonesia. ”Korupsi adalah kejahatan extraordinary atau luar biasa yang penanganannya juga harus luar biasa,” tutur Febri.

ICW menemukan tujuh pasal dalam RUU Tipikor yang baru yang tidak mencantumkan ancaman hukuman minimal, di antaranya penggelapan dana bencana alam, pengadaan barang dan jasa tanpa tender, konflik kepentingan, pemberian gratifikasi, serta pelaporan tidak benar tentang harta kekayaan.

Berikutnya adalah menghilangnya Pasal 2, yang selama ini paling banyak digunakan untuk menjerat koruptor. Pada 2010, KPK menjerat 42 tersangka korupsi dengan pasal tentang ”kerugian keuangan negara” ini.

Kelemahan berikutnya adalah penurunan ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal menjadi hanya satu tahun. Hal itu dikhawatirkan menjadi pintu keluar bagi koruptor dari hukuman penjara dengan hanya mendapatkan hukuman percobaan.

Selanjutnya adalah melemahnya sanksi untuk mafia hukum, seperti suap aparat penegak hukum, ditemukan pasal yang potensial mengkriminalisasi pelapor saksi. Korupsi kerugian negara di bawah Rp 25 juta bisa dilepas dari penuntutan hukum.

Kelemahan lain tidak disebutkannya secara jelas kewenangan penuntutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 32). ”Hal ini harus dicermati agar tidak menjadi celah untuk membonsai kewenangan penuntutan KPK,” ujar Febri. (RAY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com