Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menunggu Kiprah "Pattingalloang" Muda...

Kompas.com - 06/03/2011, 14:04 WIB

Mereka yang berusaha mengais-ngais masa lalu bisa mengunjungi tempat peristirahatan terakhir para raja di Kompleks Makam Sultan Hasanuddin di Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, dan Kompleks Makam Raja-Raja Tallo di Kecamatan Tallo, Kota Makassar.

Petilasan ini tentu tidak lagi mampu menceritakan keberanian para raja mengusir penjajah. Yang ada hanya para penjaga dan pemandu yang berharap bisa memperoleh uang tip dari pengunjung.

Bangunan fisik peradaban memang selalu terancam kehancuran. Karena itu, warisan yang seharusnya dijaga bukan hanya situs bersejarah, tetapi juga spirit dan nilai-nilai. Kerajaan Gowa yang bersekutu dengan Kerajaan Tallo dalam semua pergulatannya adalah cikal bakal generasi yang kini berdiam di sepanjang jazirah selatan Sulawesi.

Tak terurus

Kawasan rumah adat ini berada dalam wilayah Benteng Somba Opu seluas 150 hektar. Saat itu, selain tidak terurus juga menuai kontroversi seiring rencana pembangunan wahana rekreasi di sebelah timurnya.

Ide pengembangan kawasan benteng ini sebetulnya sudah muncul sejak era Gubernur Sulsel Ahmad Amiruddin Pabittei pada tahun 1995. Gubernur yang mantan Rektor Universitas Hasanuddin itu prihatin melihat reruntuhan benteng pertahanan Gowa tersebut tidak lagi ramai dikunjungi.

Kala itu, pembangunan rumah adat, seperti di Taman Mini Indonesia Indah, diharapkan mampu menarik minat wisatawan menuju Benteng Somba Opu. Namun, seiring berjalannya waktu, perawatan rumah diabaikan. Ketika rumah adat melenceng dari fungsi awalnya, benteng pun tak terurus.

Yang kini bisa ”dijual” dari Somba Opu memang hanyalah batu-batu padas yang koyak. Kokohnya dinding di empat penjuru dan menara (bastion) pengintai dihancurkan setelah Kompeni Belanda menancapkan kekuasaannya atas Gowa lewat Perjanjian Bungaya tahun 1667. Gowa telah membuktikan ungkapan ”Jalesveva Jayamahe” (Di Lautan Kita Berjaya)!

Setelah kejayaan Kerajaan Gowa tersapu waktu, mestinya memang tibalah saatnya anak-anak muda Gowa-Makassar menorehkan sejarah mereka sendiri. Tentunya dalam konteks yang beradab dan bermartabat. Bukan dengan aksi demo menjurus anarkistis yang menodai nama besar cendekiawan Gowa, Karaeng Pattingalloang.

Dalam konteks kebijakan transportasi laut, peran Gowa empat abad silam sebetulnya layak menjadi inspirasi bagi pemerintah pusat. Dulu, tanpa peran negara, Pelabuhan Makassar menyaingi pamor Pelabuhan Singapura. Kini, di tangan negara, pamor itu malah meredup.

Padahal, potensi untuk menyaingi Singapura amat terbuka mengingat lokasi Makassar sangat strategis: berada di poros Asia-Pasifik dan jalur utama pelayaran Nusantara.

Inspirasi dari Gowa mestinya menyadarkan pemerintah mengoptimalkan transportasi laut di negara yang memiliki 17.000 pulau ini. (Aswin Rizal Harahap, Maria S Sinurat, dan Nasrullah Nara)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com