Ilham Khoiri dan Reny Sri Ayu
Bangunan kosong di Kolonodale, Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, itu mirip rumah hantu. Di depannya terhampar perbukitan indah yang mengapit Teluk Towari.
”Pada hari Minggu, banyak anak muda berpacaran di sini,” kata Andri Koem (28), warga Kolonodale, akhir Februari lalu.
Gedung itu adalah kantor Bupati Morowali. Selesai dibangun tahun 2006, fasilitas itu tidak pernah difungsikan. Ibu kota Kabupaten Morowali yang asalnya dirancang di Kolonodale keburu dipindah ke Bungku. Aset bernilai miliaran rupiah itu pun mubazir.
Kesia-siaan juga terjadi pada kantor DPRD serta kantor dinas-dinas yang berjejer tak jauh dari tepian teluk. Kompleks itu sekarang bagaikan monumen kegagalan program pemekaran.
Semua itu berawal dari pemekaran Kabupaten Morowali dari Kabupaten Poso. Undang-Undang (UU) Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Morowali menyebutkan, ibu kota kabupaten baru itu di Kolonodale. Lima tahun kemudian, ibu kota bakal dipindahkan ke Bungku.
Saat itu Kolonodale dipilih sebagai ibu kota karena cukup memadai. Sementara persiapan infrastruktur di Bungku butuh waktu lama. Kerancuan lokasi ibu kota inilah—yang diboyong- boyong bak piala bergilir—pangkal masalahnya.
Saat pemindahan ibu kota tahun 2007, warga Kolonodale sontak protes. Bergabung pula sejumlah kecamatan tetangga, seperti Mori, Mori Atas, Mori Utara, Wita Ponda, Bintang Jaya, dan Mamosalato. Mereka menuntut wilayahnya dijadikan kabupaten terpisah, yaitu Kabupaten Morowali Utara dengan ibu kota Kolonodale.
Selain ada perkantoran pemerintahan tadi, Kolonodale memang juga punya beberapa fasilitas, seperti pelabuhan, pasar, dan Depot Pertamina. Alasan lain, Bungku, yang berjarak sekitar 115 kilometer dari Kolonodale, dianggap terlalu jauh.