Jakarta, Kompas
Hal itu disampaikan pengajar Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, di Jakarta, Rabu (2/3). ”Anarki itu umumnya sebuah proses. Fungsi intelijen harus dikedepankan daripada mengedepankan kekuatan (force),” kata Bambang.
Menurut Bambang, satuan intelijen kewilayahan Polri, seperti kepolisian daerah maupun kepolisian resor, seharusnya diperkuat. Intelijen harus mampu memetakan potensi konflik dan menganalisis. Fungsi-fungsi bina mitra juga dapat melakukan upaya pendekatan dan edukatif sejak awal.
Jika Polri membentuk detasemen penanggulangan anarki, lanjut Bambang, hal itu menunjukkan pihak kepolisian lebih mengedepankan kekuatan. Satuan-satuan yang ada sekarang, seperti Brigadir Mobil dan Samapta, juga dapat lebih dimaksimalkan.
Selain itu, aparat kepolisian di daerah, seperti intelijen, juga perlu memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah atau instansi terkait. ”Misalnya, masalah agama. Itu bukan urusan polisi. Kerawanan-kerawanan bernuansa agama harus dikoordinasikan dengan instansi terkait di daerah dan pemerintah daerah,” katanya.
Secara terpisah, Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo mengatakan, detasemen penanggulangan anarki yang akan dibentuk merupakan salah satu upaya penanganan anarki. ”Detasemen ini salah satu. Intelijen, deteksi dini, warning, respons, prediksi kita tingkatkan,” katanya.
Menurut Timur, bina masyarakat di tingkat desa/kelurahan, perpolisian masyarakat, dan program kemitraan harus ditingkatkan untuk merespons. Jika terjadi tindakan anarki, tetap ada satuan yang menangani, khususnya detasemen penanggulangan anarki. Detasemen itu direncanakan disiapkan di beberapa kota besar di Jawa, Medan, Palembang, dan Makassar.