Jakarta, Kompas
Desakan meratifikasi Statuta Roma dinyatakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional di Jakarta, Kamis (17/2), sebagai bentuk keprihatinan atas peristiwa kekerasan berdasarkan perbedaan agama dan keyakinan. Mahkamah Pidana Internasional, yang didirikan berdasarkan Statuta Roma pada 17 Juli 1998, mengatur kewenangan mengadili kejahatan yang menjadi perhatian internasional, seperti kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
Menurut juru bicara koalisi, Bhatara Ibnu Reza, kekerasan atas nama perbedaan agama dan keyakinan yang terus-menerus muncul bisa dimasukkan sebagai kejahatan atas kemanusiaan. Kasus penyerangan yang berujung pada tewasnya jemaah Ahmadiyah di Cikeusik dapat dikategorikan sebagai persekusi.
”Persekusi ini setidaknya memuat tiga kategori paling umum, yaitu serangan terhadap penduduk sipil, ada kebijakan negara yang melatarbelakangi serangan, serta dilakukan secara sistematis dan meluas,” kata Bhatara.
Zaenal Abidin dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mengatakan, dengan meratifikasi Statuta Roma, kejahatan kemanusiaan seperti penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah bisa diadili di Mahkamah Pidana Internasional. Dengan membawanya ke Mahkamah Pidana Internasional, diharapkan pelakunya bisa jera. ”Hukumannya bisa sampai seumur hidup,” ujarnya.
Bhatara menyayangkan pemerintah yang belum meratifikasi Statuta Roma meski tahun 2004 Presiden Megawati Soekarnoputri telah mengesahkan Rencana Aksi Nasional tentang Hak Asasi Manusia 2004-2009. Dalam rencana aksi itu, Indonesia seharusnya sudah meratifikasi Statuta Roma pada tahun 2008.
Dari pertemuan pimpinan Komnas Hak Asasi Manusia dengan beberapa tokoh di Jakarta, pemerintah diminta mengambil tanggung jawab atas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Jika dibiarkan terus menggantung tanpa penyelesaian jelas, kasus-kasus itu akan menyandera negara Indonesia, termasuk di mata internasional.
Hadir dalam pertemuan itu Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, serta pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng yang juga mantan Wakil Ketua Komnas HAM KH Salahuddin Wahid.