Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perlu Konsistensi Moratorium

Kompas.com - 17/02/2011, 04:30 WIB

jakarta, kompas - Rencana jeda tebang yang hanya untuk hutan primer dan gambut dinilai tidak serius. Sebab, sebagian besar area tersebut kawasan lindung dan konservasi yang selama ini sudah dilindungi undang-undang. Pemerintah didesak konsisten dengan rencana semula memoratorium seluruh hutan alam.

Demikian pernyataan sikap sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Jakarta, Rabu (16/2). Mereka menyikapi draf instruksi presiden (inpres) tentang jeda tebang yang diajukan Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Kehutanan (Kemhut). Lembaga-lembaga itu adalah Greenpeace, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), The Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Sawit Watch, dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP).

Analisis data dan peta oleh tim Greenpeace menunjukkan, jika draf itu yang dipakai, luasan hutan yang akan dimoratorium hanya 41,815 juta hektar. ”Sebelum rencana moratorium, Kemhut sudah mencadangkan hutan sekitar 40 juta hektar. Jadi, apa keistimewaan moratorium?” kata Kiki Taufik, peneliti Greenpeace.

Luasan hutan itu terdiri atas hutan primer 37,9 juta hektar, lahan gambut di hutan sekunder seluas 2,4 juta hektar, dan lahan gambut di luar hutan seluas 6,504 juta hektar. ”Peta ini diolah dari data Kemhut terakhir, yaitu tahun 2006, yang kemungkinan saat ini semakin berkurang luasannya. Untuk data tahun 2009 belum bisa diakses,” kata Kiki.

Menurut dia, pemerintah seharusnya konsisten menerapkan rencana moratorium untuk hutan primer dan sekunder. ”Jika itu dilakukan, luasan hutan yang dimoratorium mencapai 95,3 juta hektar,” kata Kiki.

Manajer Kampanye Hutan Walhi Teguh Surya mengatakan, masalah utama pengelolaan hutan di Indonesia saat ini terletak pada kekeliruan tata kelola Kemhut. ”Kemhut masih memiliki perspektif bahwa nilai ekonomi hutan adalah tegakan kayu. Karena itu, Presiden diharapkan mendengar masukan dari instansi lain sebelum menandatangani inpres,” katanya.

Manajer Program Hutan dan Iklim ICEL Giorgio Budi Indrarto mengatakan, inpres hanya bisa menjadi pijakan awal. ”Yang tetap harus menjadi perhatian Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan. Juga harus direvisi,” katanya.

Menurut dia, UU tersebut masih memberi kewenangan terlalu besar kepada Kemhut, selain juga belum bisa mewadahi partisipasi warga. ”Jika Presiden tidak segera menandatangani inpres dan melihat kembali peran Kemhut dalam mengelola hutan, moratorium bisa gagal,” katanya.

Alasan ekonomi

Teguh menambahkan, berdasarkan studi Environmental Investigation Agency (EIA) dan studi oleh Kemhut pada April 2010, kerugian negara akibat pembalakan luar di Indonesia mencapai 3 miliar dollar AS sampai 4 miliar dollar AS per tahun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com