Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Halo "Rekening Gendut"

Kompas.com - 11/02/2011, 04:50 WIB

Kita berharap Kapolri menun- jukkan sikap patriot, tidak arogan, serta membuktikan komitmen transparansi dan pemberantasan korupsi. Lain halnya bila Kapolri Timur Pradopo tidak menghendaki dilakukan per- ubahan mendasar di tubuh institusi yang dipimpinnya. Ia tidak boleh terikat dosa masa lalu. Institusi kepolisian harus diselamatkan. Institusi, bukan per- orangan atau para perwira tinggi tertentu. Memang tidak mudah, tetapi putusan KIP ini bisa menjadi titik terang awal bagi Kapolri untuk melakukan perubahan.

Bagaimana dengan Presiden? Ia tentu tidak bisa lepas tangan atau bersembunyi di balik bayangan Kapolri. Jika Presiden Yudhoyono sungguh-sungguh dan tanpa kepura-puraan mengusung program ”Ganyang Mafia”, seperti disebutkan dalam program prioritas pertama kepemimpinannya jilid II, ia seharusnya memastikan Kapolri beritikad baik mematuhi putusan ini. Bandingkan dengan 12 instruksi presiden (inpres) untuk kasus Gayus dan pemberantasan mafia.

Pada butir ketiga inpres tersebut disebutkan, ”Kita akan lakukan audit keuangan dan keuangan lembaga penegak hukum.” Dan, butir kelima instruksi yang sama menyebut konsepsi pembuktian terbalik. Apa artinya? Untuk kasus Gayus, ini sangat penting. Instruksi itu seharusnya jadi semangat utama pemerintahan SBY untuk melakukan pemberantasan korupsi dan pembenahan institusi penegak hukum di Indonesia. Apalagi, institusi kepolisian baru sudah menjalankan program reformasi birokrasi dan baru saja menikmati remunerasi atau kenaikan pendapatan. Hal ini tentu harus seiring dengan komitmen untuk transparan, bertanggung jawab kepada publik, dan pembersihan ke dalam.

Pelaksanaan putusan KIP untuk membuka 17 ”rekening gendut” yang dikategorikan wajar tersebut adalah tantangan. Apakah inpres tak punya kewibawaan sehingga tidak terlalu penting dilaksanakan, atau sebaliknya. Dan, apakah Kapolri memang punya niat memimpin reformasi di lembaganya.

Pencucian uang

Lebih luas dari itu, kita perlu simak betapa mengkhawatirkan fenomena ”rekening gendut” ini di sejumlah institusi negara. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sampai Desember 2010 menunjukkan 3.084 transaksi keuangan mencurigakan pada kepolisian (88,84 persen) dan kejaksaan (11,15 persen). Lebih dari 40 persen transaksi tersebut diduga berasal dari korupsi dan penyuapan. Angka yang fantastis, terutama jika dilihat dari sangat rendahnya proses hukum terhadap kejahatan pencucian uang ini. Siapa lembaga yang berwenang mengusut pidana ”kerah putih” ini? Dulu, sebelum ada UU No 8/2010, kepolisian yang punya kewenangan penyidikan. Namun, saat ini proses hukum bisa dilakukan oleh lima institusi, sesuai dengan tindak pidana asal pencucian uang tersebut.

Di sini kita paham, perang terhadap kejahatan pencucian uang dan korupsi, yang menjadi salah satu sarana utama bagi praktik mafia hukum, membutuhkan prasyarat yang ketat. Tidak mungkin pemberantasan korupsi dan pencucian uang bisa dilakukan jika aparat penegak hukumnya justru menjadi salah satu pihak yang rekeningnya mencurigakan menurut PPATK.

Karena itulah, tanpa bermaksud menuduh, 17 rekening yang dimiliki perwira tinggi Polri ini pasti bermasalah. Ia harus dibuka. Apalagi, Mabes Polri sudah menyatakan 17 rekening itu wajar. Jika bersih, kenapa harus risih? Pascaputusan KIP, semoga ada harapan baru sehingga kita bisa sedikit optimistis menyapa para pemilik rekening di balik tirai ketertutupan yang dipelihara selama ini, ”Halo, Rekening Gendut!”

Febri Diansyah Peneliti Indonesia Corruption Watch; Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com