Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Pola Insiden Kekerasan Massa

Kompas.com - 10/02/2011, 02:48 WIB

Jakarta, Kompas - Beberapa insiden kekerasan yang dilakukan kelompok massa kepada kelompok minoritas tampak sistematis dan berpola. Keganjilan lain ialah pembiaran oleh aparat penegak hukum atas tindakan main hakim sendiri tersebut.

Demikian diungkapkan Ketua Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Muliawan Margadana, Rabu (9/2), yang menyampaikan pernyataan bersama tokoh lintas agama di Jakarta. Kekerasan yang terjadi sistematis, polanya jelas, dan berjalan terus tanpa upaya tegas penegak hukum.

Franz Magnis-Suseno menambahkan, mengherankan apabila kejadian ini spontan. Namun, kalau ada yang mendalangi, semestinya aparat tidak sulit menemukannya.

Untuk kejadian ini, kata Magnis, semestinya pemerintah menarik garis tegas terhadap kekerasan apa pun. Pelaku atau orang yang mengajak melakukan kekerasan harus ditangkap.

Muliawan juga meminta pemerintah tak bermain-main dan serius menangani insiden kekerasan terhadap warga negara ini. Penegakan hukum yang tegas diperlukan. Itu karena kasus ini tak hanya melukai bangsa, tetapi juga mengganggu citra Indonesia di dunia usaha internasional.

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar menegaskan bahwa tidak seorang pun boleh dianiaya, apalagi dibunuh, kendati dianggap sesat. Kekerasan tersebut justru mempermalukan Islam.

Dalam pernyataan bersama di kantor PKB itu, hadir pula aktivis hak asasi manusia (HAM), Siti Musdah Mulia. Musdah menegaskan, jihad sesungguhnya adalah mempertahankan Indonesia sampai titik darah penghabisan, bukan menyakiti umat lain.

Pemerintah membiarkan

Secara terpisah, di Jakarta, jaringan tokoh muda lintas organisasi dan lintas agama Indonesia menilai pemerintah telah membiarkan terjadi kekerasan yang merenggut nyawa warga negara dan merusak tempat ibadah akhir-akhir ini. Hal itu merupakan kejahatan karena merenggut hak hidup dan kebebasan beragama di Indonesia.

Pernyataan tersebut dikeluarkan sebagai reaksi atas penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Pandeglang, Minggu, serta kerusuhan dan pembakaran gereja di Temanggung pada Selasa lalu. Menurut Yudi Latif, dalam kasus Ahmadiyah, gejolak dan tanda kerusuhan sudah terdeteksi dan aparat sudah mengetahui itu beberapa hari sebelumnya. Sejumlah polisi juga datang ke lokasi kejadian. Namun, aparat tidak sungguh-sungguh mencegah, hanya melihat, bahkan sebagian malah menghindar saat ada penyerbuan.

Di Temanggung, gejala kerusuhan sudah tercium intelijen polisi. Hukuman lima tahun bagi terdakwa penista agama Antonius Bawengan merupakan hukuman maksimal yang semestinya tak memicu ledakan amarah massa. Apalagi ada jarak waktu dan tempat antara gedung pengadilan dan gereja yang dibakar.

”Ada waktu untuk mencegah kekerasan dalam kasus Ahmadiyah dan Temanggung. Tetapi, aparat keamanan tidak mengantisipasinya,” katanya.

Adhie Massardi mengatakan, dua kekerasan itu tampak sebagai upaya pengalihan isu. Ketika pemerintah tertekan tokoh lintas agama dengan isu kebohongan dan kegagalan pemerintah serta adanya isu mafia hukum, tiba-tiba dua kasus tersebut meledak.

Menurut Haris Rusly dari Petisi 28, pemerintah cenderung berwacana saja dalam mengatasi dua kasus itu ataupun kasus lain sebelumnya. Saat kasus meledak Presiden sibuk mengutuk atau mengecamnya. Padahal, Presiden semestinya bertindak nyata.

Direktur Eksekutif Demos Antonius Pradjasto dalam peringatan 100 hari wafatnya aktivis HAM, Asmara Nababan, mengingatkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus bertanggung jawab atas terus berlangsungnya kekerasan yang dilakukan kelompok ekstremis terhadap pihak yang tidak satu paham dengan mereka. Kekejian saat ini terjadi dengan adanya ambisi blok politik ekonomi dan blok fundamentalisme agama yang ingin menguasai Indonesia.

Anggota Komisi Nasional HAM, Stanley Adi Prasetyo, yang pernah menjadi teman kerja Asmara Nababan, menambahkan, kekerasan terus terjadi sejak tahun 2001 ketika proses reformasi dibajak elite politik baru, yang berkolaborasi dengan elite politik lama. ”Terjadi kegagalan dalam proses demokratisasi dan reformasi di Indonesia,” ujarnya.

Sementara itu, untuk mencegah konflik, Polresta Bandar Lampung melakukan dialog dan pendekatan kepada puluhan jemaah Ahmadiyah di wilayah tersebut. Kepala Polresta Bandar Lampung Komisaris Besar Guntor Gaffar, Rabu, mengungkapkan, ada sekitar 100 warga Ahmadiyah di kota itu.(PRA/ano/ara/jon/INA/ ONG/zal/abk/iam)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com