Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ruang Masyarakat Makin Kecil

Kompas.com - 27/01/2011, 03:58 WIB

Jakarta, Kompas - Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu memperkecil ruang bagi masyarakat sipil untuk mengawasi dan ikut terlibat dalam pelaksanaan pemilu. Kondisi tersebut ujung-ujungnya akan kian memperkokoh politik kartel yang dikembangkan partai politik di Indonesia.

”Para elite parpol tengah melakukan konsolidasi untuk membangun kekuatan jangka panjang. Partai-partai berupaya mempertahankan kekuasaan. Revisi itu menutup ruang bagi civil society (masyarakat sipil),” kata Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani, Rabu (26/1) di Jakarta, dalam diskusi yang digelar Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN). Pembicara lain ialah Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti dan peneliti KRHN Veri Junaidi.

Pada November tahun lalu, Komisi II DPR menyepakati revisi UU No 22/2007. Isinya antara lain anggota KPU tidak lagi diharuskan keluar dari keanggotaan parpol dalam jangka waktu lima tahun sebelum mendaftar sebagai anggota lembaga penyelenggara pemilu tersebut. Dengan demikian, seseorang dimungkinkan menjadi anggota KPU meski belum lama terdaftar sebagai anggota parpol.

Padahal, UU No 22/2007 dinilai cukup memadai untuk menjamin KPU terhindar dari pengaruh kuat parpol. Pasal 11 butir (i) undang-undang itu menyatakan, syarat menjadi anggota KPU (pusat, provinsi, kota/kabupaten) ialah tidak pernah menjadi anggota parpol atau setidaknya selama lima tahun tidak menjadi anggota parpol.

Ray Rangkuti mengatakan, hampir semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia diatur oleh parpol. Hanya ada sedikit ruang yang tersisa bagi masyarakat sipil. ”Di komisi-komisi negara, kecuali KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), hampir separuh anggotanya berasal dari parpol. Mahkamah Konstitusi juga boleh diisi orang parpol. Di luar itu, penentuan Kepala Polri dan Jaksa Agung juga ikut dipengaruhi parpol,” ujarnya.

Ray mengakui, secara teoretis, tidak ada yang salah dengan hal itu, tetapi realitas sosial di Indonesia membuat rakyat harus menolak dominasi parpol. Praktik politik transaksional yang dilakukan parpol membuat parpol tidak bisa dipercaya untuk mengelola demokrasi.

”Parpol bukan instrumen yang baik untuk mengelola demokrasi. Alih-alih mendorong konsolidasi demokrasi, parpol malah memanfaatkan prosedur demokratik untuk memanipulasi tujuan demokrasi,” jelas Ray.

Wardani mengingatkan, masyarakat sekarang sangat sinis terhadap parpol. Situasi itu akan membuat KPU terbebani jika syarat jangka waktu keanggotaan parpol tidak lagi diatur dalam UU No 22/2007. Ia menyebutkan, tahapan pemilu seperti verifikasi parpol dan verifikasi calon legislatif bisa menjadi politik dagang sapi jika UU itu tidak mengatur tegas batasan jangka waktu keanggotaan parpol. (ato)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com