Ilham Khoiri
Halaman samping belakang Galeri Nasional Indonesia di Jakarta cukup riuh suatu sore pertengahan Januari lalu. Puluhan orang berkerumun di bawah tenda sederhana. Sambil membawa kaus putih, mereka antre di salah satu sudut untuk dapat giliran kausnya disablon secara gratis.
Beberapa seniman menyablon kaus itu dengan gambar pilihan pengunjung. Salah satu gambar yang laris adalah karya Popo (28), seniman jalanan dari kelompok Kampung Segart di Lenteng Agung. Gambar itu berupa sosok naif yang menuliskan teks ”Fun Fine Art”. Tetapi, kata ”fine-”nya disilang.
”Semoga seni itu bisa lebih menyenangkan (fun) sehingga semua orang bisa menikmati, bahkan ikut terlibat. Seni bukan untuk dimurnikan (fine art) karena akan menjadi elitis,” kata seniman lulusan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.
Ada 36 seniman yang terlibat dalam proyek ”Hanya Memberi Tak Harap Kembali” itu. Mereka menawarkan master karya yang bisa direproduksi, seperti dengan sablon, stiker, fotokopi, kartu pos, selebaran, emblem, dan stiker. Pengunjung bisa memperoleh reproduksi karya itu secara gratis dengan membawa kaus, kertas, tas, atau flashdisk.
Lewat cara ini, masyarakat luas mudah menikmati karya-karya seni. Karya seni tak lagi dipingit di studio pribadi atau ruang galeri dan museum, melainkan disebar ke tengah masyarakat, kalau perlu secara gratis. Seni pun bakal dinikmati khalayak luas.
Karya-karya itu pun tak sepenuhnya murni olahan seniman sebagai otoritas tunggal. Sebagian seniman justru mereproduksi seni pop yang beredar di tengah masyarakat. Contohnya, foto-foto penyanyi dangdut di kawasan pantura, gambar-gambar di bak truk, atau stiker yang populer di bus-bus kota.
Kegiatan ini merupakan rangkaian pameran ”Decompression #10: Expanding The Space and Public”, puncak perhelatan ulang tahun ke-10 Ruangrupa. Komunitas di Jakarta ini termasuk salah satu kelompok muda yang mengusung modus baru dalam berkesenian.