Kacung Marijan
Uniknya, yang mengkritik tidak lagi sebatas para pelaku ekonomi yang memang lebih menyukai penggunaan ”analisis untung rugi” dalam menilai sesuatu. Kritik juga datang dari akademisi yang sebelumnya ikut mendorong proses demokratisasi.
Adanya kritik semacam itu bukanlah sesuatu yang baru. Sebagaimana dikatakan oleh Larry Diamond (1990), demokrasi memang mengandung paradoks-paradoks. Di antara paradoks dalam demokrasi adalah adanya kebutuhan untuk lebih mengutamakan kepentingan banyak orang di satu sisi dan kepentingan efisiensi di sisi yang lain.
Di dalam demokrasi yang baik, proses pembuatan berbagai keputusan sedapat mungkin melibatkan banyak orang. Semakin banyak berkonsultasi dengan konstituen sebelum membuat kebijakan, semakin bagus praktik demokrasi yang dijalankan oleh para pembuat kebijakan.
Akan tetapi, demokrasi juga membutuhkan efisiensi. Ketika banyak rancangan keputusan harus terlebih dahulu dikonsultasikan dan memperoleh persetujuan dari konstituen, proses pembuatan keputusan akan berlangsung lebih lama, berbelit-belit, serta membutuhkan energi dan biaya mahal.
Untuk itu, kerangka demokrasi yang baik adalah kerangka yang memungkinkan terjembataninya dilema semacam itu. Hal ini terjadi, antara lain, kalau para pembuat keputusan memiliki informasi dan data yang cukup mengenai berbagai keinginan dan kebutuhan warga (preferensi).
Dengan demikian, rancangan keputusan atau kebijakan yang dibuat akan cepat memperoleh persetujuan, baik dari wakil rakyat maupun konstituen sendiri, karena didasarkan pada preferensi warga.
Meski demikian, praktik demokrasi yang dikritik bukan sekadar lamanya proses pembuatan keputusan akibat terlalu banyak pertimbangan-pertimbangan politik. Yang sering dijadikan rujukan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami defisit demokrasi adalah mahalnya biaya seleksi para pejabat publik melalui pemilu, baik pemilu legislatif, pilpres, maupun pilkada.