Persoalan lain yang mendasar adalah bagaimana warga memandang kesejahteraan mereka. Marianus Kleden, pengajar antropologi politik Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, menuturkan, ada kecenderungan orang puas dengan apa yang ada. ”Kalau dengan hasil kebun dan ternak yang ada sudah bisa survive, ngapain mencari yang lebih. Untuk itu perlu ada mediasi agar mereka bisa melihat taraf hidup yang lebih layak dan terpacu untuk lebih bergiat mencapainya,” katanya.
Menurut Kleden, etos wirausaha memang baru berkembang. ”Kita banyak belajar dari etnik Tionghoa, Jawa, Padang, dan Sulsel tentang kerja keras. Lewat proses magang, etos ini perlahan-lahan diinternalisasi oleh generasi muda. Satu hal yang amat khas pada orang NTT adalah kecenderungan untuk mendapatkan uang tunai secara cepat dan tidak menempatkan uang dalam manajemen ekonomi jangka panjang,” katanya.
Terkait pesta adat yang menghabiskan banyak biaya, Marianus menyatakan, dalam masyarakat NTT yang berpola pikir sosial kolektif, pesta adat merupakan kesempatan bagi orang untuk mengukuhkan posisi dan status sosialnya di masyarakat.
Agar masyarakat NTT bangkit mengejar ketertinggalan, internalisasi sikap wirausaha perlu ditingkatkan. Di banyak tempat telah tumbuh semangat untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Warga mengembangkan komoditas perkebunan. Hal ini harus dibantu dengan infrastruktur yang baik sehingga mudah dimobilisasi serta didukung tata niaga yang kondusif. Dengan demikian, nasib orang NTT akan lebih baik. (ATK)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.