Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Emping Melinjo dan Tradisi Warga Limpung

Kompas.com - 21/12/2010, 05:23 WIB

Jangan pernah berani membuat marah perempuan Limpung”. Guyonan ini sering dilontarkan kepada tamu yang datang ke Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang. Di wilayah Limpung, mayoritas perempuannya piawai membuat emping melinjo secara tradisional.

Guyonan itu muncul karena para perempuan di Limpung setiap hari menumbuk melinjo itu dengan sebuah palu besi berukuran besar. Proses pembuatan emping melinjo ini terlihat sederhana, tetapi membutuhkan ketelatenan dan kekuatan. Salah perhitungan, jempol tangan pun yang tertumbuk.

Menurut Supami (50), warga Desa Ngaliyan, Kecamatan Limpung, proses pembuatan emping yakni sebelum ditumbuk, melinjo disangrai dulu agar mudah mengelupas di atas sebuah tungku. Kulit melinjo yang terkelupas dipakai sebagai ”kayu bakar” untuk proses menyangrai.

Setelah dikupas, melinjo ditumbuk untuk membuat emping berdiameter lima sentimeter. Setiap lembarnya membutuhkan sekitar 8 biji melinjo. ”Saya membuat emping ini sejak kecil, diajari orang tua,” kata Supami, Minggu (12/12).

Emping melinjo ini pula yang menjadi komoditas andalan Kabupaten Batang. Desa Ngaliyan merupakan salah satu sentra emping melinjo terbesar di Kecamatan Limpung. Di Batang, selain Kecamatan Limpung, sentra pembuatan emping melinjo juga terdapat di Kecamatan Reban, Tersono, dan Kecamatan Bawang, yangmelibatkan ribuan perajin.

Produk emping melinjo di Batang juga diperkenalkan melalui internet.

Menurut Ketua Kelompok Wanita Tani Rejo Desa Ngaliyan, Istikhanah, emping melinjo menjadi incaran konsumen di beberapa kota besar seperti Purwokerto, Semarang, Jakarta, Bandung, dan Bali.

Kelompok Tani Rejo memiliki anggota aktif sebanyak 33 orang. ”Masih ada puluhan ibu-ibu yang tidak jadi anggota, tetapi aktif membuat emping di rumah masing-masing,” katanya.

Para perajin emping setiap hari mengolah minimal sebanyak 5 kilogram (kg) melinjo. Dari setiap 2 kg melinjo dapat diolah menjadi 1 kg emping basah.

Emping basah

Sebagian besar memproduksi emping basah yang harus digoreng terlebih dulu sebelum dimakan. Emping basah yang dibungkus kantong plastik ini dijual Rp 15.000 per bungkus.

Namun, ada pula warga yang membuat emping gepuk, yaitu emping yang sudah diolah dengan berbagai rasa dan siap saji. Emping gepuk ini memiliki bermacam rasa, seperti asin, manis, dan pedas. Setiap bungkus dijual Rp 10.000. Khusus emping gepuk rasa asin dijual Rp 12.500 per bungkus.

Bahan baku melinjo sebagian besar dibeli dari daerah Banten, Lampung, dan DI Yogyakarta. ”Melinjo dari Limpung tak banyak karena banyak pohon melinjo yang sudah ditebang dan diganti dengan pohon sengon,” kata Istikhanah.

Munadi (36), salah satu penjual melinjo di Desa Ngaliyan, melayani sekitar 200 perajin emping di desa itu setiap hari.

Emping yang terkumpul di rumah Munadi itu sebagian besar dikirim ke Bali. ”Setiap minggu, kami mengirim sampai 4 ton emping,” kata Munadi.

Meski potensi emping sangat besar, Istikhanah mengakui kelemahan dalam pemasaran. ”Warga desa hanya memproduksi, tetapi yang memasarkan lebih banyak para pendatang di Limpung ini,” katanya.

Dengan bergantung pada pedagang itu, harga jual emping menjadi fluktuatif karena pedagang menjadi penentu harga. ”Warga memilih menjadi perajin daripada tenaga pemasaran,” kata Istikhanah.

Proses pembuatan emping yang sudah menjadi tradisi itu sulit ditinggalkan warga Desa Ngaliyan. Mereka memilih menghabiskan waktu di dapur untuk menumbuk melinjo.

(Herpin Dewanto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com