Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demokrasi Minus Etika Diskursus

Kompas.com - 20/12/2010, 02:54 WIB

Triyono Lukmantoro

Demokrasi yang kita jalankan telah kehilangan etika diskursus. Hal ini dapat dilacak ketika ada satu pihak memaksakan kehendak, sementara itu pihak lain dituntut untuk sekadar mematuhinya. Padahal, salah satu nilai substansial demokrasi adalah berdiskusi.

Jika demokrasi semacam itu yang dijalankan, kelompok minoritas dibungkam suaranya. Demokrasi cuma jadi label yang terkesan penuh kegagahan karena yang terjadi di dalamnya represi yang berjalan sistematis. Fenomena itu bisa disimak ketika RUU Keistimewaan DI Yogyakarta digulirkan di tengah publik. Massa demonstran berjumlah puluhan ribu yang meminta Gubernur dan Wakil Gubernur DIY ditetapkan dan bukan dipilih langsung justru diabaikan pemerintah pusat.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi berpendapat demonstrasi itu tak mewakili rakyat Yogyakarta yang berjumlah 3,5 juta jiwa. Gamawan menambahkan keputusan mengenai hal istimewa atau khusus harus ditanyakan dulu kepada rakyat Indonesia yang diwakili DPR. ”Keistimewaan itu diatur dengan UU, bukan perda (peraturan daerah). Jika ingin membuat perda, tanya rakyat Yogyakarta. Tetapi dengan undang-undang, tanya rakyat Indonesia,” kata Gamawan (Kompas, 15/12/2010).

Model penalaran yang digunakan Gamawan ialah mayoritas versus minoritas. Rakyat Yogyakarta yang 3,5 juta jiwa, apalagi yang berunjuk rasa, tak seberapa jumlahnya dibandingkan seluruh rakyat negeri ini. Jadi, minoritas boleh disingkirkan karena mayoritas belum tentu menghendaki demikian. Jika modus sejenis itu yang dikembangkan dalam demokrasi, maka minoritas pasti terlindas.

Hal itu dapat dilihat ketika Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bandung menyegel dua rumah di Perumahan Rancaekek Bumi Kencana. Alasannya, rumah itu dipakai tempat ibadah jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Betania. Padahal, pihak HKBP telah mengajukan izin mendirikan gereja sejak 2004, tetapi sampai sekarang tak ditanggapi pemerintah (Kompas, 13/12/2010).

Ada bahaya yang terus mengancam jika etika diskursus dihilangkan dalam demokrasi. Korban paling nyata dirugikan adalah kaum minoritas. Atas nama kebaikan dan kehormatan mayoritas, kaum minoritas boleh disingkirkan dengan cara apa pun. Tatanan hukum yang diskriminatif hingga cara-cara kekerasan yang sedemikian masif sering kali digulirkan untuk menundukkan kaum minoritas. Etika diskursus yang sengaja tidak diterapkan pada demokrasi pasti berujung pada kematian demokrasi itu sendiri. Artinya, demokrasi yang ditanamkan dalam masyarakat yang pluralistis (majemuk) harus menerapkan etika diskursus secara baik.

Percakapan moral

Etika diskursus yang digagas Jurgen Habermas, sebagaimana diuraikan Robert J Cavalier (Introduction to Habermas’s Discourse Ethics, 2006), merupakan bentuk dialogis dari nalar praktis dalam kondisi pluralitas yang tak mungkin bisa direduksi. Dalam situasi demikian diperlukan horizon bagi percakapan moral. Diskursus sendiri punya makna leksikal ’perbincangan’. Hanya saja, dalam diskursus itu tak hanya memuat perbincangan biasa, tetapi juga percakapan yang mengedepankan rasa keadilan. Etika diskursus mempersyaratkan dua hal penting. Pertama, kebebasan bagi semua anggota komunitas. Kedua, kesederajatan bagi semua partisipan yang punya suara untuk berdiskusi dalam suasana penuh kesetaraan.

Memang, tak gampang merealisasikan kebebasan dan kesederajatan dalam masyarakat yang majemuk atau multikultural. Alasannya, masyarakat semacam itu dibentuk oleh berbagai komponen etnis, agama, kelas, dan berbagai identitas yang tidak mudah dipadukan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com