Namun, perlu dipertanyakan, sungguhkah data atau dokumen yang diklaim ”sangat rahasia” itu memiliki otentisitas atau validitas? Ataukah, kasus WikiLeaks yang menyedot perhatian dunia hanyalah aksi kontroversial yang diembus oleh pihak atau negara tertentu untuk memainkan ”skenario tersembunyi”?
Sebaliknya, jika pelbagai materi kawat diplomatik yang dibocorkan itu valid, seberapa jauhkah ia berdampak serius bagi kepentingan nasional kita?
Diteropong dari sudut percaturan ideologi global, khususnya kiprah liberalisme yang diusung Amerika Serikat atau Barat dan kini bermetamorfosis menjadi neokolonialisme (istilah Bung Karno), tampaknya ideologi yang cukup lama menguasai dunia ini sedang mengalami deklinasi cukup tajam.
Kemerosotan tersebut justru diakibatkan kebebasan dan keterbukaan itu sendiri. Kasus WikiLeaks merupakan buah kebebasan dan keterbukaan di bidang informasi, sama halnya dengan kasus rontoknya perusahaan raksasa Amerika Serikat, Lehman Brothers, diakibatkan oleh mekanisme pasar bebas, kebebasan, dan keterbukaan di bidang ekonomi.
Dari perspektif ideologi, kasus WikiLeaks merupakan senjata makan tuan karena justru Amerika Serikat atau Baratlah yang mempromosikan liberalisme serta demokrasi.
Ditilik dengan kacamata politik atau intelijen, siapa gerangan di belakang Julian Assange dengan WikiLeaks-nya? Pria kelahiran Townsville-Queensland, Australia, berusia 39 tahun itu pernah belajar fisika dan matematika di Universitas Melbourne. Dia ahli komputer yang menekuni masalah security network, khususnya menyangkut pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar seantero dunia.