Sebagai bekas warga Pujowinatan dan Gunung Ketur, saya tersinggung dengan perlakuan terhadap Yogyakarta. Rasanya kurang kerjaan memperuncing ”monarki versus demokrasi”.
Buyar kenangan manis menikmati wangi jamu lempuyang dan rasa aman-nyaman nongkrong di bawah pohon beringin raksasa di halaman Pakualaman. Rasa sedih melihat Yogyakarta diselimuti wedhus gembel berubah jadi murka.
Perlakuan itu meremehkan peranan historis dan kultural Yogyakarta. Ini melting pot yang sejak dulu menaungi ragam suku, agama, dan kelas. Makanya secara kultural disebut ”daerah istimewa”.
Lebih menjengkelkan isu ini diketengahkan
Celakalah mereka yang tak belajar sejarah. Seperti kata Bung Karno, ”Jas Merah” (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Namun, bagi sebagian orang, singkatan Jas Merah rupanya telah berubah jadi ”Sejarah Saya Memang Parah”.
Bicara sejarah, Yogyakarta entitas terlekat dan terdekat dengan perjuangan kemerdekaan. Jika tak ada Hamengku Buwono IX yang jadi Sultan
Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII menyatakan wilayah mereka bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebulan setelah proklamasi. Entah berapa banyak aset kedua kerajaan kecil itu disumbangkan untuk perjuangan.
Tak sedikit kerajaan meniru langkah Yogyakarta, antara lain Solo, Bone, Makassar, Bugis, dan raja-raja di Bali. Saat itu NKRI belum besar, antara lain baru terdiri dari Yogyakarta, Jawa Tengah, Sumatera, Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil.
Yogyakarta bukan hanya jadi ibu kota, melainkan juga pusat reli perjuangan kaum muda bersama kota Jakarta, Solo, Bandung, Malang, dan Surabaya. Suka atau tidak, Hamengku Buwono IX tokoh perjuangan penting yang bisa disejajarkan dengan Bung Karno dan Bung Hatta.